Oleh: Hariadhi, CEO PT Semoga Segera IPO, Konsultan Komunikasi Politik dan Pemerintahan sejak 2011
Dengan semakin masifnya serangan hoax, salah satu teman sesama di kubu Ganjar bertanya, “Mas Har, Bagaimana cara melawan hoax yang bertubi-tubi, hampir tiap hari? Sementara mencari jawabannya tidak sebentar.”
Saya jawab, “Ya itulah teknik Firehose of Falsehood. Memang fitnah disebar sebanyak mungkin, isunya random, kadang tidak masuk akalnya ga kira-kira. Mulai dari foto Ganjar ciuman dengan istrinya disebar, Megawati dituduh tidak mau melayani ajakan salaman Kaesang, bocoran survei yang katanya dari SMRC, sampai pakta integritas yang ditandatangani intel. Padahal kalau dipikir manalah ada intel bekerja seceroboh itu sampai meninggalkan jejak. Terlihat kan polanya?”
“Lalu bagaimana cara melawannya?” tanya teman saya itu.
Saya jawab, kita harus memahami dulu apa yang sebenarnya ditarget oleh kampanye berondongan hoax ini. Tujuan sebenarnya adalah merangsang amygdala kita untuk terus membuat kita tegang dan marah. Amygdala kerjanya spontan, begitu emosi kita terpancing, maka kita akan cenderung mengabaikan otak besar depan alias frontal cortex kita yang lebih bijaksana mencerna informasi. Sementara untuk bisa menjawab sebuah kebohongan, frontal cortex butuh waktu lebih lama.
Amygdala yang terus-menerus dipancing aktif akan membesar dan mereka yang ukuran amygdalanya lebih besar, akan cenderung kepada pilihan konservatif. Thus.. Kita tahu siapa calon yang sibuk berteriak bahwa tidak akan ada perubahan jika mereka menang, alias menawarkan konservativisme.
“Itulah tujuan sebenarnya dari Firehose of Falsehood. Jadi bukan urusan informasi yang mereka berondongkan itu benar atau salah. Pemilih tidak akan mempedulikan itu begitu amygdala mereka sudah terpancing untuk aktif dan ikut menyebarkan informasi keliru itu tanpa pikir panjang,” lanjut saya.
“Jadi kita tidak perlu mengklarifikasi fitnah mereka?” tanya teman saya.
“Klarifikasi tetap perlu. Tapi dengan memperhatikan bagaimana emosi kita bekerja. Sebab emosi itulah yang lebih mempengaruhi pilihan kita di kotak suara nanti.”
Klarifikasi yang dibuat datar-datar saja, dengan kalimat yang deskriptif, apalagi analitis, tidak akan dipusingkan oleh pendengar atau pembacanya. Kita harus memahami empat unsur dasar yang bisa dengan cepat mempengaruhi emosi manusia. Apalagi jika kita membantah suatu hoax dengan balik emosi marah juga. Itulah yang justru dituju oleh pelaku kampanye Firehose of Falsehood dan memenangkan mereka.
“Apa saja empat unsur itu?” tanyanya penasaran.
“Pelajari saja ilmu memetika, ada unsur fear, ini yang dituju oleh pelaku. Namun ada tiga unsur lainnya yang bisa mengimbangi, yaitu fun alias lawakan, agama atau reliji, dan female alias ketertarikan kepada lawan jenis. Paling gampang dan cepat ya dengan unsur lawakan alias memelintir balik informasi hoax sehingga menjadi makin tidak masuk akal dan membuat penyebarnya jadi konyol dan kehilangan kredibilitas.”
“Lho kalau kita pakai unsur agama, berarti main politik identitas dong?” Ia meragukan jawaban saya.
“Politik identitas terjadi kalau kita memakai dalih agama untuk mendiskriminasi calon tertentu dan menakuti orang yang akan memilihnya. Tapi kalau kita gunakan dalil agama untuk menegur orang yang memfitnah seorang kandidat, itu boleh, bahkan menurut ajaran agama adalah wajib. Bilang saja menyebar fitnah itu perbuatan dibenci Tuhan, layaknya memakan bangkai saudaranya sendiri. Jarang orang Indonesia yang kalau sudah diingatkan larangan Tuhan, masih saja melanjutkan perbuatan jahatnya,” ujar saya mengklarifikasi.
Saya lalu melanjutkan bahwa unsur female bukan berarti harus memajukan perempuan untuk membantah hoax. Jika hoaxnya berhubungan dengan persoalan gender memang sebaiknya perempuan yang bicara, atau jika memang yang terpapar kebanyakan laki-laki, maka figur perempuan menarik yang membantah akan lebih mereka percayai.
Namun bisa pula kita maknai bahwa semua orang pasti ingin dibangggakan oleh anak-anak mereka dan kehidupan masa depan yang lebih baik untuk keturunannya.
Maka pelaku perlu diingatkan bahwa perilaku mereka menebar hoax akan terekam selamanya di internet dan bisa jadi suatu saat akan terbaca oleh anak cucu mereka. Selain itu bisa pula dengan mengingatkan bahwa kita mengadakan pesta demokrasi ini agar bisa mewariskan negara yang lebih baik untuk tempat hidup keturunan kita nanti. Karena itu sebaiknya hindari menebar hoax di masa pemilu, karena akan membuat kita memilih pemimpin yang salah dan menghancurkan impian anak cucu kita.
Teman saya mengangguk-angguk. Saya berharap dia mengerti tips yang sudah saya jelaskan mengenai cara yang efektif untuk melawan hoax, dan berdoa banyak orang yang membaca tulisan ini untuk juga berkolaborasi dengan cara yang efektif dan efisien dalam melawan hoax dalam rangkaian kampanye menuju Hari H pencoblosan ini.