Oleh: Sefnat Tagaku, Aktivis Maluku Utara, Sekretaris GAMKI Halmahera Selatan
Baru saja kita merayakan Hari Ulang Tahun ke-79 kemerdekaan Republik Indonesia ke-79 dengan berbagai riak-riak kegembiraan. Pidato-pidato para pemangku kekuasaan dari pusat hingga ke pelosok terdengar bernarasi ‘cinta tanah air’ mestinya menjadi titik refleksi besar atas perjalanan bangsa yang usianya jika dihitung posisi manusia sudah terlihat tua.
Namun sayangnya, seolah kemeriahan HUT Indonesia hanya menjadi sebuah momentum rutinitas tahunan, menghabiskan uang negara lalu kembali pada masalah. Inikah makna kemerdekaan?
Indonesia selalu saja berada dalam perdebatan panjang tentang demokrasi. Padahal, dalam berbagai refrensi disebutkan bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar ketiga. Artinya, masalah demokrasi sebenarnya sudah tuntas di negara ini dan tidak ada perdebatan lagi. Faktanya, bagai api jauh dari panggang. Ini sebuah realitas yang mesti dihadapi oleh rakyat Indonesia. Namun apakah hal itu lantas dibiarkan?
Tiga hari setelah peringatan HUT ke-79 RI, kita menyaksikan berita baik bagi Indonesia atas putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan gugatan Partai Buruh dan Partai Gelora, tentang aturan syarat pencalonan Kepala daerah (Pilkada). Dalam pengabulan gugatan tersebut, para calon kepala daerah tidak lagi menggunakan syarat dukungan Partai Politik dengan metode akumulasi 20% atau 25% kursi DPRD, melainkan dari jumlah suara Partai Politik yang berdasar pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) di masing-masing daerah.
Semisalnya; pada daerah yang memiliki penduduk diangka 2 juta jiwa, maka koalisi partai politik yang mengusung calon kepala daerah harus memperoleh suara sah paling sedikit 10% pada pemilu. Bagi daerah yang memiliki jumlah penduduk 12 juta jiwa, maka Parpol yang mendukung pasangan calon harus memiliki suara sah paling sedikit 6,5%. Artinya, keputusan ini memberi ruang bagi Parpol yang tidak memiliki kursi di DPRD namun punya suara sah pada pemilu berdasarkan ketentuan bisa mengusung pasangan calon Kepala Daerah.
Keputusan ini diterjemahkan sebagai sebuah langkah untuk menuju pada proses pemilihan yang lebih demokratis. Sederhannya, kedaulatan rakyat berlaku dalam melahirkan pemimpin di negara ini sejak tahapan awal yang diselenggaran oleh penyelenggara pemilihan. Dalam paradigma yang lain, dengan adanya putusan MK ini sekaligus merubah wajah perpolitikan selama ini. Dimana Partai Politik dengan bebas memainkan peran perdagangan kepada pasangan calon yang hendak ingin berkompetisi demi memenuhi syarat ambang batas pencalonan.
Meski demikian, keputusan MK yang mengabulkan gugatan kedua partai ini pun sontak mendapat respon bervariasi, ada yang pro, juga kontra, termaksud dengan sikap serentak Badan Legislatif (Baleg) yang dikabarkan bakal mengabaikan putusan MK. Sikap ini sekaligus memicu arak-arakan demonstrasi yang digelar dibeberapa Provinsi di Indonesia yang melibatkan sejumlah stakeholder, di antaranya akademisi, mahasiswa, pemuda, politisi, bahkan para artis papan atas. Kehadiran gerakan jalanan hanya dengan satu tekad, yakni mengawal keputusan MK yang memang seharusnya bersifat final dan mengikat.
Mirisnya, tidak hanya soal ambang batas pencalonan kepala daerah yang disoroti oleh Badan Legislatif, namun juga tentang syarat usia calon Kepala Daerah yang ditetapkan oleh MK minimal 30 tahun. Sorotan ini dicurigai untuk mengamankan putera Presiden, Kaesang Panggarep yang juga sebagai Ketua Umum PSI untuk mencalonkan diri sebagai Wakil Gubernur di Provinsi Jawa Tengah mendampingi Ahmad Luthfi, sebagaimana yang telah diumumkan sebelumnya oleh Partai Nasdem.
Dinamika tanah air ini memberi warning kepada seluruh rakyat Indonesia, bahwa wakil rakyat kita sudah tidak sehat seiring dengan sakitnya ‘demokrasi’ di negeri ini. Regulasi berpihak pada keinginan dan menjadi permainan ‘kekuasaan’. Lantas, apa yang menjadi subtansi refleksi HUT RI ke-79 Tahun? Menggerakan kekuatan rakyat dan melawan sikap kekuasaan yang mulai merakus adalah sebuah kewajiban orang yang mencintai negeri ini. Sikap itu pula sekaligus memberi arti dari sebuah makna kemerdekaan.
Penyair yang hilang di masa perjuangan jelang lahirnya reformasi, Widji Tukul, berkata, ”Tunduk ditindas, atau bangkit melawan. Sebab diam adalah penghianatan!”
Selamat HUT ke-79 Tahun Republik Indonesia Tercinta!