Oleh: Garda Maharsi, aktivis pergerakan
Sanjay Gandhi memang seorang petualang. Dari baju rapi dan parfumnya yang membahagiakan ruangan, terlihat bahwa dia bukan manusia yang remeh. Sanjay Gandhi tidak bisa dianggap remeh.
Dan publik India tahun 70an tahu itu. Sanjay lahir dan besar di sebentuk rumah besar seperti istana –Teen Murti House– di sebuah bilangan kota Delhi. Besar di sebuah kastil modern memang tidak biasa. Tapi ibunya adalah Indira, anak Nehru. Tidak cukup itu, Indira Gandhi adalah Perdana Menteri India yang kuasa, dan berhasil membolongi keyakinan Pakistan dengan perang nan dahsyat.
Karena itulah Sanjay tidak biasa…
Dia juga anak Feroze Gandhi, seorang anggota parlemen yang flamboyan namun agak malas-malasan. Feroze mungkin cinta dan bercinta pada Indira Gandhi, tapi cinta tak cukup untuk membuatnya tinggal di Teen Murti House dan ikut membesarkan Sanjay (dan kakaknya Rajiv).
Tinggal di bekas istana Nehru sedari kecil membuat Sanjay seperti menjalani pestapora yang lempang. Dari kecil makannya cukup, punya kebun binatang sendiri di belakang rumah, dengan gigi macan yang nonjol diantara kandang besi. Saat tahun 1960 mungkin lema ini belum populer, namun tepat menggambarkan hidupnya: sebuah privilese…
Memang dari kecil Sanjay (dan tentu saja Rajiv) sudah terbiasa dengan privilese. Ia sudah mempraktekkan hidup seperti Kakeknya Jawaharlal Nehru. Ia biasa dandan rapi, makan dengan pisau dan porok, tersenyum ketika difoto, bersalaman dengan orang penting, di saat mayoritas anak India menghalau burung di ladang gandum sembari meniup seruling.
Tapi toh privilese bukan sesuatu yang salah bagi orang yang beriman pada takdir…
Kesalahan mulai tampak ketika: Sanjay besar dengan Ibu Indira yang naik layar politik dan sukses jadi Perdana Menteri, ayahnya yang tak pernah datang, pengawal yang setia, membuat adrenalinnya seperti tak memiliki limit. Dia suka kebut-kebutan malam hari. Sekolahnya tidak dia lanjutkan. Drop Out.
Kerana kesukaannya kebut-kebutan bahkan ia buat sendiri bengkel utak-atik, dan minta mekanik membangun satu mobil dengan spek gahar dan tak boleh ada yang menyamainya. Ia juga merajuk. Ia bilang ke Ibu Perdana Menteri untuk mengurusnya ke Inggris. 3 tahun Sanjay magang di perusahaan otomobil jawara Rolls-Royce. Tak terlalu jelas yang dilakukannya ketika magang disana. Tapi setelah Ibu Perdana Menteri mulai mapan kuasa, Sanjay pulang ke Delhi dengan rencana main-main…
Sanjay pulang kampung dari Inggris untuk minta kepada Ibunya suatu perusahaan otomobil sendiri. Tampaknya dia terlalu malas magang di perusahaan orang, dan lebih senang jika punya perusahaan sendiri yang bebas ia atur-atur. Sialnya, Ibu Perdana Menteri nurut. Dibikinnya sebuah pabrik otomobil sendiri yang dipimpin Sanjay dengan gagah berani. Namanya Maruti.
Sialnya lagi, rasa sayang Ibu kepada anaknya tidak bisa didefinisikan awan. Dan juga publik India yang menahan.
Mendengar pembangunan perusahaan otomobil Maruti hanya untuk mendudukkan Sanjay sebagai Direksi tentu membuat publik, apalagi oposisi politik, meradang. Kritik bermunculan seperti cendawan setelah hujan. Koran-koran menaruhnya pada headline, besar-besar, dan menciptakan suasana seakan paradoks terjadi begitu saja. Indira Gandhi, dengan busana rapi warna kirmizi, dihujat rakyat dan patung dewa-dewi…
“Indira hanya memikirkan nasib dan bisnis keluarga” kata seorang demonstran saat itu.
“Tapi siapa bisa melarang seorang membangun sebuah usaha, hanya karena dia seorang anak Indira?” Ucap Ibu Perdana Menteri dalam sebuah wawancara…
Siapa yang salah? Indira yang sayang anak tapi tidak memiliki empati sosial, atau publik yang marah karena elit yang semaunya sendiri sedangkan ketidakadilan terjadi disampingnya?
Sedangkan faktanya bicara lain. Pabrik Maruti yang luas dan berhektar-hektar asetnya, harus gulung tikar. Praktis hanya 2 tahun setelah meluncurkan mobil perdananya.
Dan oposisi politik tak meneruskan serangan soal Indira dan dinastinya saat itu. Mereka sudah memenangkan keadaan dengan karma yang wujud di berita-berita koran…
Untuk kesekian kali Sanjay Gandhi menunjukkan bahwa dia tidak cakap, kurang telaten, atau mungkin tidak bisa diuji.
Maka dia coba beralih bidang. Sanjay mencoba peruntungannya dengan masuk sasana politik.
Dan tidak mau terlihat gagal dan kurang telaten untuk kesekian kali, Sanjay benar-benar serius melengkapi diri. Dia panggil cerdik pandai dan minta dipasok senjata utama: kata-kata. Dia mulai bicara soal program menekan angka kelahiran, agar Delhi dan Lahore yang padat bisa terkendali demografinya. Beberapa kawasan slum akan direlokasi, lalu dibangun taman kota. Tapi Sanjay sering lupa bahwa India adalah negeri tempat kata-kata bisa jadi doa sekaligus bencana…
Kerana bicara politik dan kebijakan publik bukan soal merancang sebuah otomobil yang bisa melaju kencang dengan 4 penumpang. Diantara kebijakan publik akan selalu ada protes, pihak-pihak kalah yang harus dimanusiakan, dan berbagai macam empati sosial yang membentuk diri…
Dan politisi muda itu, Sanjay Gandhi, bicara kata-kata politis sambil tetap senang kebut-kebutan mobil dan menerbangkan pesawat jet.
Sampai suatu siang, dengan Pitts S-2A berwarna marun, Sanjay lepas landas. Dia terbang didampingi co-pilot Capt Saxena yang tengah pilek. Belum sempat mengudara lancar dan mengaktifkan mode terbang otomatis, tubuh pesawat goyang. Jet mahal tersebut terjungkal, dan nyungsep diantara pepohonan ek di Wellington Crescent, New Delhi.
Pada usia 34 tahun Sanjay Gandhi tewas. Perdana Menteri Indira Gandhi kehilangan seorang anak. India (mungkin) kehilangan calon pemimpin.
Tapi apakah yang hilang dari sebuah privilese? Suatu usaha tekun dan kemauan melewati titian yang semua orang lakukan. Sebuah privilese bukan tiket sakti tanpa jalan raya. Semua akan melewati jalan yang sama meski kecepatan untuk sampai tujuan yang berbeda.
Dan kecepatan yang tak seimbang itu sering sengaja diciptakan oleh yang berkuasa untuk maksud lain yang tak dicerna oleh moralitas awam…
Seperti Indira kepada Sanjay. Atau Mulyono kepada angin..
Yang tidak ngerti empati publik yang koyak. Yang tidak pernah bisa memahami, suatu proyek dinasti, dibangun dengan kata-kata manis, dan luka-luka nalar ditengah badai gerimis. (*)