Sebentar kemudian ada seorang wanita cantik yang pernah berkiprah sebagai Tenaga Ahli DPR RI di Senayan. Usianya 35 tahunan. Gadis jelita ini juga langsung sumringah ketika bertemu dan bersalaman dengan Komandan Patjul, bahkan dia mengatakan bahwa dia pengagum berat Sang Komandan dan mengikuti semua postingan, terutama podcast, Komandan di media sosial.
Hari ini kejadian serupa terjadi lagi. Seorang kyai muda pimpinan Pondok Pesantren besar di Jawa Timur yang sedang berkunjung ke Senayan juga menyatakan kekagumannya. Ada lebih dari 20.000 santri di Pondoknya dan para santri tersebut hanya membayar sangat murah untuk biaya mondok dan biaya sekolahnya. Si Kyai Muda mengatakan bahwa santri-santri di Pondoknya adalah santri-santri “Korea” yang sedang menuntut ilmu agar suatu ketika bisa ikut melenting ke atas.
Tiga orang, beda generasi, beda latar belakang, beda profesi dan ketiganya sama-sama menjadi fans berat Komandannya Para Korea. Ini tentu satu fenomena menarik untuk dicermati karena Mas Patjul boleh dikatakan “baru lahir” di dunia medsos. Khan Mas Patjul tergolong Kaum Kolonial dan dunia medsos adalah dunianya Kaum Milenial. Lalu apa yang membikin beliau tiba-tiba bisa “melenting” ke atas dalam waktu cepat.
Saya mencoba mencermatinya dengan dua pisau analisa Stratejik Manajemen. Pertama, Mc. Kinsey (2008) mengungkapkan bahwa ada 3 sumber pertumbuhan. Pertama market share expansion yang ternyata hanya berkontribusi sekitar 3,9% dalam menopang pertumbuhan. Kedua Merger dan Akuisisi yang menopang 30,6% pertumbuhan. Tetapi ternyata aktivitas M&A hanya cocok untuk jenis industri tertentu. Bahkan Christensen (2011) mengkonfirmasi bahwa 70-90% M&A tidak menciptakan value creation.
Ketiga adalah Portfolio Momentum. Ini yang memberikan sumbangsih terbesar dalam pertumbuhan, yaitu sebesar 65,5%. Artinya suatu produk akan bisa bertumbuh dengan sangat pesat bila mendapatkan momentumnya. Handphone Blackberry dengan keyboard Qwerty nya, aplikasi Zoom ketika pandemi Covid-19 dan Tiktok adalah satu contoh yang mudah dipahami.
Nah di dalam kasus Komandan Patjul sebagai tokoh politik, beliau mendapatkan momentum yang luar biasa akibat penampilannya yang apa adanya, genuine, bersahaja, di tengah pandangan masyarakat yang sudah sangat jenuh dengan pencitraan. Gaya bahasanya yang santai, santun dan kadang kocak membuat para penjelajah media sosial menemukan satu sosok “baru”, seorang tokoh idola politik yang jujur dan cerdas.
Penampilan Komandan Patjul memang berbeda. Beliau selalu tampil tanpa pernah menyerang lawan, di mana politik biasanya penuh intrik dan saling menjatuhkan. Di samping itu falsafah Jawa tentang Ilmu Kehidupan yang sangat rumit dan njelimet, mampu dijabarkan dengan gaya bahasa yang sangat sederhana, diselingi dengan humor-humor yang bernas, sehingga mudah dipahami semua kalangan.
Tidak heran bila penampilannya di media sosial selalu disukai oleh banyak kalangan, bahkan oleh orang yang selama ini anti terhadap politik sekalipun. Menariknya semua umpan balik tone medianya sangat positif. Bahkan penampilannya selalu dinantikan. Momentum inilah yang membuat Komandan Patjul sekarang menjadi media darling.
Kalau kita telaah dengan Resource Based Theory (Barney, 1991) boleh dikatakan bahwa Komandan Patjul memiliki sumber daya yang bersifat unik dan valuable. Komandan Patjul menampilkan sosok dirinya yang asli dan tidak meniru gara penampilan orang lain. Teori yang dicetuskannya tentang “Korea-Korea Melentinglah” dapat dipahami sebagai sebuah terobosan (pioneering) sebagaimana dikemukakan oleh Sirmon et al (2011) dalam Resource Orchestration. Istilah Korea-Korea menjadi sangat viral karena ini memang mencerminkan kehidupan banyak orang, termasuk kaum Marhaen, yang masih berjuang keras untuk bisa melenting ke posisi yang lebih tinggi.
Keberhasilan Komandan Patjul dengan Teori Korea-nya pasti akan ditiru oleh banyak pihak. Bahkan banyak pihak yang mengidentifikasi diri menjadi Korea-Korea yang sedang mencari galah untuk melenting. Dalam dinamika persaingan, replikasi atau peniruan ini akan mengakibatkan turunnya value captured. Tetapi sebaliknya dalam media sosial, peniruan bahkan membuat teori ini dan tentu saja pencetusnya menjadi semakin terkenal dan booming.
Saking terkenalnya lama-lama mungkin Kedutaan Besar Republik Korea akan melayangkan protes, mengapa menggunakan istilah Korea. Kalau ini sampai terjadi berarti teori tentang “Korea-Korea Melentinglah” yang dikemukakan oleh Patjul (2023) sudah menembus batas lintas negara dan layak diakui sebagai teori kehidupan modern.
Dr. Harris Turino, S.T., S.H., M.Si., M.M. – Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Wakil Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Tengah