Jakarta – Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari mengatakan, penggelembungan suara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) untuk mengalihkan perhatian dari hak angket dugaan kecurangan Pemilu 2024.
Menurut Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Andalas itu, motif penggelembungan suara PSI tidak hanya sekadar meloloskan parpol yang dipimpin anak Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu ke DPR, juga untuk mengalihkan isu dari kecurangan pilpres menjadi isu kecurangan PSI.
“Bagi saya kecurangan terang benderang ini motifnya tidak sekadar meloloskan PSI, tetapi isunya juga beralih dari isu kecurangan pilpres menjadi isu kecurangan PSI,” katanya mengutip kanal Youtube @bambangwidjojanto, Selasa (5/3/2024).
Aktor film dokumenter “Dirty Vote” itu menyebut, penggelembungan suara PSI terlalu terang benderang, hampir tidak mungkin dalam batas penalaran yang wajar terjadi penggelembungan suara sangat besar di saat terakhir dari 2,5% menjadi 3,7% terjadi kenaikan 1,2%.
“Kalau dilihat rutenya akan tembus 4%. Trennya cepat dibanding pollster PSI dengan Prabowo-Gibran saat Jokowi menyatakan cawe-cawe langsung naik perolehan suara Prabowo-Gibran.
Disesuaikan dengan kebutuhan Jokowi, dan kebutuhan parpol anak Jokowi,” ujarnya.
Lebih lanjut, mantan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas itu menyentil pollster dan analisis politik yang tidak angkat bicara perihak kenaikan perolehan suara PSI yang tidak masuk akal dan curang.
“Ini bagian dari mendukung kecurangan. Kebetulan publik tidak nyaman dengan partai anak presiden lolos parlemen,” tegasnya.
Jual Beli Suara
Pada kesempatan itu, Feri angkat suara perihal kenaikan suara PSI dengan fenomena jual beli suara.
Dia menyebut, fenomena ini tidak hanya terjadi pada pemilu sekaran. Parpol yang tidak lolos ambang batas parlemen (PT) akan betransaksi dengan parpol yang ingin memaksakan diri lolos ke DPR.
Hanya saja, kasus kenaikan suara PSI memiliki fenomena sendiri, karena umumnya jual-beli suara itu berlangsung antara parpol yang perolehan suaranya berkisar 3,7% atau 3,9% dengan parpol yang nyaris tidak ada harapan masuk ke parlemen.
“Ada permakluman antar parpol, ini membuat demokrasi tidak sehat dan suara rakyat dikhianati.
Feri membandingkan perolehan suara antara PSI dengan Partai Perindo. Menurutnta, Partai Perindo memiliki dana signifikan dan jaringan media massa lebih luas serta lebih awal berdiri dibanding PSI, namun perolehan suaranya jauh dari ambang batas parlemen.
“Kemudian ada perubahan suara malah tidak menyampaikan lebih berani dan lebih terbuka. Bagi saya penting Perindo untuk menyampaikan hal-hal yang terjadi, angka cenderung turun sedangkan angka PSI cenderung naik,” tukasnya.
Hak Angket Makin Kuat
Feri menegaskan, bahwa wacana menggulirkan hak angket semestinya semakin menguat dengan munculnya penggelembungan suara PSI, karena ini mengindikasikan ada hal-hal yang tidak benar pada Pemilu 2024 yang harus diselidiki di parlemen.
Adapun, subjek hukum dari hak angket adalah eksekutif dan dalam konteks ini adalah Presiden Jokowi, karena dia secara terbuka mengatakan cawe-cawe dalam Pemilu 2024 dan secara terbuka mengatakan menggunakan data intelijen untuk mengetahui dapur parpol lain.
Kalau KPU, ujarnya, bukan lembaga eksekutif tetapi komisi independen. Meski demikian, DPR bisa memanggil KPU untuk dimintai keterangan sebagai saksi.
Feri mencontohkan, Presiden Amerika Serikat (AS) Richard Nixon dimakzulkan dan mundur dari jabatan presiden karena cawe-cawe menggunakan data intelijen untuk mengetahui ‘dapur’ parpol lawannya.
Dia menambahkan bahwa syarat untuk mengajukan hak angket bukan hal sulit karena membutuhkan tandatangan 25 anggota DPR dari dua fraksi berbeda.
Kemudian, untuk mengegolkan hak angket harus memenuhi syarat rapat paripurna dihadiri 288 anggota DPR dan setengah dari anggota yang hadir menyetujui hak angket.
“Angkanya mudah sekali. Seharusnya dengan PDI Perjuangan, Partai Nasdem, PKS, PKB, PPP total ada 314 kursi,” katanya.