Jakarta – Tiga pelaku pengeboman rumah Husairi, Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di Desa Nyakabu Daya, Kecamatan Pamekasan, Jawa Timur, diringkus aparat kepolisian. Ketiganya adalah A (30) yang diduga berperan sebagai otak peledakan, S (38) berperan sebagai eksekutor, dan AR (30) sebagai penjual dan pembuat bahan peledak.
Menurut penjelasan Wakapolres Pamekasan Kompol Andy Purnomo, kasus peledakan ini terjadi pada hari Selasa (20/2) jam 03.45 WIB. Semua bermula ketika A memberi perintah pada S untuk memberi “pelajaran” pada Ferry, anak Husairi. Untuk itu A memberi uang sebesar Rp500.000. S kemudian pergi ke rumah sasaran dengan membawa bondet (bom ikan) yang dibelinya dari AR seharga Rp150.000.
Sesampainya di tujuan, bondet itu dilempar ke rumah korban dan meledak. Akibatnya dinding rumah korban rusak. Pintu beserta kaca jendela depan dan samping hancur. Termasuk lemari kayu yang terletak di ruang tengah. Tempat tidur korban dan plafon bagian depan rumah juga rusak. Saat kejadian, Husairi sedang tidak di rumah yang menjadi sasaran. Ia berada di rumah lain yang letaknya berdampingan. Meski tidak ada korban jiwa, kerugian meteriil diperkirakan mencapai belasan juta rupiah.
Karena Husairi menjabat sebagai KPPS, sempat muncul dugaan hal ini terkait politik. Akan tetapi, setelah pelaku ditangkap, kejadian ini tidak ada sangkut pautnya dengan jabatan Husairi sebagai KPPS.
“Jadi ini murni dendam, tidak ada kaitannya dengan politik. A memberi perintah karena mencurigai bahwa Ferry, yang juga anak Ketua KPPS ini, pernah menginformasikan kepada Polres Pamekasan terkait keterlibatan tersangka A (30) dengan narkoba pada tahun 2019 lalu,” katanya.
Saat dilakukan penangkapan, Polisi juga menyita barang bukti berupa dua buah benda peledak jenis petasan berbentuk bulat, tepung tapioka, bubuk mesiu, dua kantong plastik tawas, satu kantong plastik potasium, satu kantong plastik sendawa, dan satu alat pembuat bahan peledak jenis petasan. Kini ketiga tersangka dijerat Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951, dan atau Pasal 170 KUHP, dengan ancaman pidana maksimal 20 tahun penjara.