Jakarta – Budayawan dan kolumnis, Mohamad Sobary, mengatakan ada pelajaran berharga dari berbagai kecurangan pada Pemilu 2024 yang harus menjadi perhatian para elite politik, khususnya DPR untuk merevisi kekuasaan presiden di konstitusi.
Menurut dia, tanpa sadar konstitusi memberikan presiden Indonesia posisi kekuasaan yang hampir seperti setengah dewa, sehingga bisa mengarahkan undang-undang, mengubah undang-undang, dan memakai undang-undang untuk melegitimasi penyimpangan.
“Tanpa sadar, kita semua ramai-ramai memposisikan presiden itu demikian terhormat karena ada prasangka baik yang luar biasa pada seorang presiden terpilih, sehingga konstitusi kita dibangun untuk menjadi presiden punya kekuasaan kayak setengah dewa. Dia bisa bikin undang-undang sendiri, kalaupun proses undang-undang lewat DPR enggak lolos, dia bisa lewat Perpu,” kata Sobary, dalam acara Political Update di Channel Mind TV Indonesia berjudul ‘Pemilu yang Cemar, Hasilnya Zaman Kegelapan’.
Konstitusi seperti ini, lanjutnya, memberikan ruang kekuasaan sangat luar biasa kepada presiden, dan pada akhirnya hanya bergantung pada karakter, niat baik, atau ketulusan seorang presiden dalam menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan negara, pribadi atau kelompok.
“Dengan konstitusi kayak gini, kalau kita punya presiden yang karakternya kacau, niat baiknya kacau, emosinya enggak stabil, maka saya tidak bisa membayangkan akan seperti apa masa depan bangsa ini karena banyak hal yang dia lakukan enggak akan tersentuh hukum karena konstitusi kita memberikan ruang kekuasaan yang sangat besar kepada presiden,” ungkap Sobary.
Mantan Pemimpin Umum Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara itu menilai, kekacauan ini menjadi pelajaran mahal bagi Bangsa Indonesia, yang harus dikawal agar tidak akan terulang di masa depan. Dengan demikian, DPR yang dikawal rakyat, harus bisa mengubah konstitusi untuk membatasi kekuasaan presiden.
Sobary menegaskan, pengawalan rakyat sangat penting karena sesungguhnya rakyat lah yang berkuasa dan berdaulat di negeri ini. Seorang presiden masa pemerintahannya akan berakhir, namun rakyat tidak akan pernah berakhir.
“Kalau tidak, ini akan terulang terus, dan kita seolah digiring atau terpaksa toleran. Ini pelajaran mahal, jangan sampai kita semua menengok ke belakang dan merasa malu. Masalah ini tidak cukup dengan malu. Ini yang harus kita ingatkan dan tunjukkan kepada rakyat, bahwa yang berdaulat adalah rakyat, yang punya negeri ini kalian. Iya, rakyat tidak pernah berakhir, tapi pemimpin pasti berakhir,” ujar Sobary.
Dia mengatakan, sejarah berbagai negara juga menjadi pelajaran bahwa pemimpin yang memilih berakhir dengan cara terhormat akan selalu dikenang dan mendapat tempat terhormat dalam sejarah bangsa.
Sebaliknya, pemimpin yang memilih melanggengkan kekuasaan secara tidak terhormat bahkan otoriter akan berakhir sebagai orang yang tersepak-sepak, tertendang-tendang, kesandung sana sini, bahkan ada yang sampai mengungsi ke luar negeri dan meninggal tanpa menginjak tanah air.
“Barangkali presiden kita juga akan lari ke luar negeri, tapi mungkin itu sudah bagian dari perhitungan ya, sampai membuat banyak penyimpangan seperti ini, kita enggak tahu,” tutur Sobary.