Jakarta – Jaringan Antariman Indonesia(JAII) atau Indonesia Interfaith Network mengeluarkan pernyataan sikap terkait kondisi demokrasi terkini.
JAII berpendapat, menjelang 26 tahun reformasi dan enam kali Pemilu Pascaorde Baru, telah banyak kebaikan yang memengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu yang patut disyukuri adalah kemampuan kita bergerak dewasa mengekspresikan nilai-nilai pluralisme dan kemajemukandengan prinsip-prinsip kemanusiaan, keadilandan perdamaian.
Demikian pula pranata hukum dan politik telah berkembang di alam demokrasi ini dengan naungan semangat republikanisme. Republikanisme berarti kita memiliki akses setara untuk mengisi sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak ada yang menjadi tuan, kecuali sekalian rakyat,apapun kelas sosial-budaya-ekonominya.
“Namun, fenomena politik nasional yang terjadi tiga tahun terakhir memberikan nuansa lain. Kita seolah dipaksa mundur jauh ke alam sebelum reformasi. Nilai demokrasi tergeser ke arah oligarki, ekonomi Pancasila oleng ke arah neoliberalisme, dan kebudayaan nasional menjadi model priyayisme yang banal dan oportunistik,” kata Koordinator JAII, Elga J.Sarapung.
Demikian pula politik. Nilai asasinya adalah musyawarah untuk mufakat menjadi konspirasi elitis yang bersaing gelanggang sempit dan cenderung membangun dinasti. Nilai-nilai kekeluargaan yang sebenarnya adalah gotong royong dan egalitarianisme malah menghianati asas res publica, berubah menjadi monarchia.
“Para guru bangsa yang menjadi inspirasi Jaringan Antariman Indonesia tak lelah dalam laku hidupnya menawarkan nilai, etika, dan pengetahuan politik yang berkeadaban pasti gusar dengan praktik dan budaya politik saat ini, yang semakin serakah, homo homini lupus, machiavellianisme, dan berwajah bebal,” tambah perwakilan JAII Teuku Kemal Fasya.
Ia menambahkan, kondisi terkini seolah-olah yang ada hanya ada pemujaan pada kekuasaan semesta. Hilang semua narasi kebajikan yang pernah diajarkan para guru bangsa seperti Gedong Bagoes Oka, Abdurrahman Wahid, Th. Sumartana, Romo Mangunwijaya, Daniel Dhakidae, Djohan Effendi, Eka Darmaputera, Buya Syafii Maarif, dan Pater Neles Tebay.Histeria politik menghanyutkan nalar dan nurani.
Atas dasar itu JAII mengeluarkan lima sikap:
Pertama, kepada semua pimpinan politik, hentikan model pendangkalan makna Pemilu yang menjauhkan pada nilai-nilai keadilan, kejujuran, kesetaraan, dan pro-martabat rakyat.
Jadikan Pemilu sebagai pesta rakyat sesungguhnya, ekspresi dari suara Tuhan yang menuntut pada kebenaran dan kebaikan.
Kedua, kepada para peserta Pemilu yang sedang bersaing, penuhilah jiwa dan pikiran Anda sekalian dengan nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme. Bahwa di atas semua persaingan politik, ada eksistensi bangsa dan negara yang perlu dijaga. Hargailah persatuan Bangsa!Di balik semua usaha dan keringat untuk merebut kekuasaan, tetapharus berhenti pada satu titik. Insaflah ketika konstitusi sudah memutuskan siapa yang menjadi pelayan dalam melanjutkan estafeta pembangunan bangsa ini.
Ketiga, kepada penyelenggara Pemilu, perbaikilah nilai dan profesionalisme Anda sekalian dalam menjalankan tugas. Tugas terbesar para penyelenggara adalah menjamin Pemilu berjalan jujur dan adil dengan mekanisme langsung, umum, bebas, dan rahasia. Ingat sumpah jabatan ketika mendapatkan tanggung-jawab ini. Jadilah wasit yang bekerja seolah-olahTuhan menyaksikan apa yang kalian usahakan dan pendam di dalam hati.
Keempat, kepada aparat TNI dan Polri, di Pundak Anda sekalian seluruh keamanan dan kedamaian bangsa ini dipertaruhkan. Tetaplah menjadi abdi bagi bangsa dan negara, dan bukan pelayan penguasa yang bisa saja berubah. Abadilah dalam hati dan pikiran rakyat yang tidak menginginkan bangsa ini pecah dan koyak-moyak oleh urusan politik dan kekuasaan.
Kelima, untuk seluruh warga negara, mari jaga bangsa ini dari model perampasan politik tuna adab. Mari jaga hati seluruh anak bangsa yang beragam untuk tidak hanyut pada hasutan yang memecah belah, baik atas nama suku, bangsa, budaya, agama, dan identitas etnografis lainnya. Puluhan tahun kita sudah berhasil menjaga kebersamaan dalam perbedaan. Kita perlu ratusan tahun lagi untuk merawat Indonesia dan berjaya di antara bangsa-bangsa dunia.
Perwakilan JAII lain yakni Abidin Wakano (Ambon), Asyer Tandapai (Tentena, Poso), Gufron Mabruri (Jakarta), Listia (Yogyakarta), Marhaeni Mawuntu (Manado), Anum Siregar (Papua), Denni Pinontoan (Tomohon), Ardi Manto Adiputra (Jakarta), Alifatul Arifiati (Cirebon), Albertus Patti (Bandung), dan Christina Hutubesy (Makassar).