Debat Cawapres 2024 semalam adalah pertunjukan secara terbuka betapa batas usia minimal seorang calon Presiden dan Wakil Presiden memang ada gunanya. Karbitan yang terlalu dipaksakan, apalagi dengan mengobrak-abrik peraturan perundangan, hanya akan mempertontonkan betapa rendahnya pemahaman atas substansi tentang pentingnya kualitas seorang pemimpin sebuah negeri dengan 270 juta penduduk. Ketika yang lain membahas serius persoalan tentang pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam, lingkungan hidup, energi, pangan, agraria, masyarakat adat dan desa, Gibran malah mempertontonkan drama kesongongan di luar batas dan menabrak etika dan tata krama adat Ketimuran.
Dari sisi substansi, Mahfud MD dan Muhaimin Iskandar mengupas kegagalan Pemerintah dalam menangani persoalan kelestarian lingkungan, ketimpangan pemerataan, kegagalan reforma agraria yang sangat merugikan masyarakat adat serta keterlambatan mencapai target bauran energi baru terbarukan yang sudah ditentukan. Sementara Gibran malah menyerang Cak Imin untuk soal remeh-temeh soal botol plastik dengan gaya yang nyinyir dan menjijikan.
Ketika Muhaimin menyinggung soal kegagalan redistribusi lahan, Gibran yang sama sekali tidak paham substansi menjawabnya dengan kesuksesan Jokowi membagikan jutaan sertifikat. Sertifikasi lahan yang memang sudah dikuasai dan dikerjakan oleh petani jelas bukan jawaban atas redistribusi lahan yang dikuasai oleh segelintir konglomerat dalam jumlah jutaan hektar, sementara 17 juta petani yang hanya menguasai lahan masing-masing kurang dari setengah hektar. Sementara Mahfud MD yang saat ini menjabat sebagai Menkopolhukam secara terang-terangan mengungkap kebobrokan yang ada dalam Reforma Agraria, di mana banyak sekali mafia yang tidak bisa disentuh oleh siapapun di negeri ini.
Ketika Mahfud mengangkat soal kegagalan Jokowi dalam menangani soal kemandirian pangan, seperti yang dijanjikan dalam debat Capres tahun 2019, disertai dengan data-data valid tentang meningkatnya impor beras, susu, kedelai dan daging sapi, Gibran justru menjawabnya dengan membicarakan food estate yang membutuhkan waktu panjang dalam mengevaluasi keberhasilannya. Yang membikin miris adalah Gibran tidak mampu menyangkal kebenaran data-data itu, tetapi malah menuduh Mahfud MD dan Muhaimin Iskandar menakut-nakuti rakyat dengan narasi buruk.
Dalam debat semalam terlihat bahwa Gibran memang tidak menguasai masalah dan berusaha menutupinya dengan gimmick-gimmick yang over dosis. Dia berusaha menjatuhkan Muhaimin lewat pertanyaan teknis tentang LFP dan juga menjebak Mahfud pada isu greenflation. Dan inilah titik terendah dari penampilan Gibran yang ditertawakan oleh Cawapres lainnya dan juga dicibir oleh warganet dengan sebutan Songong. Apalagi ketika ditambahin dengan gaya-gaya norak yang disebut warganet sebagai cringe (menjijikkan).
Yang menjadi andalan Gibran sejak dari debat pertama adalah soal hilirisasi mineral, pertanian dan digital. Seolah hilirisasi adalah jawab atas semua permasalahan negeri, tanpa paham bahwa proses hilirisasi sendiri masih menyisakan banyak sekali permasalahan yang perlu ditangani secara serius, termasuk kesejahteraan masyarakat setempat dan kerusakan lingkungan. Hilirisasi memang bagus sekali untuk meningkatkan nilai tambah produk, tetapi harus dipastikan bahwa bangsa Indonesialah yang menikmati kenaikan nilai tambah tersebut dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat Indonesia.
Dari debat semalam terungkap bahwa masih banyak persoalan negeri berupa kehancuran lingkungan, berkembangnya mafia tanah dan tambang, deforestasi berlebihan, kegagalan konversi energi, hilirisasi yang tidak menguntungkan negeri, rendahnya perlindungan terhadap masyarakat adat. Dibutuhkan pemimpin yang paham dan berani atas semua persoalan serius tersebut, bukan pemimpin yang menjadi bagian dari masalah, apalagi si songong yang hanya bisa mencibir.
Oleh: Bona, Pemerhati Isu-isu politik