Sungguh miris mendengar pernyataan blak-blakan dari pengajar Filsafat dan Etika, Franz Magnis Suseno, yang menyatakan bahwa kondisi Indonesia saat ini cukup serius karena penguasa tanpa malu membangun dinasti politik keluarga, pengadilan tidak independen, serta korupsi merajalela. Pernyataan itu disampaikannya dalam diskusi “Menyelamatkan Demokrasi dari Cengkeraman Oligarki dan Dinasti Politik” yang diselenggarakan di kawasan Jakarta Pusat kemarin, bersama sejumlah rektor Perguruan Tinggi, pengamat, dan aktivis di Indonesia. “Kita dalam situasi yang cukup serius,” kata Romo Magnis.
Sebelumnya sejumlah tokoh sowan ke kediaman Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang, Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus di Leteh, Rembang, Jawa Tengah, Minggu (12/11/2023) siang. Acara itu dihadiri oleh sejumlah tokoh bangsa, budayawan, seniman, cendikiawan, agamawan di antaranya Alif Iman Nurlabang, sastrawan dan jurnalis senior Goenawan Mohamad, mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin, Romo Benny Susetyo, mantan wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Erry Riyana Hardjapamekas, istri almarhum Nurcholis Madjid Omie Komariah Madjid, istri almarhum Abdurrahman Wahid Sinta Nuriyah Wahid, akademisi Riris Sarumpaet, Romo Magniz Suzeno serta aktivis Nong Mahmada.
Para tokoh itu menyampaikan permasalahan bangsa menjelang bergulirnya Pemilu 2024. Semuanya mengungkapkan keprihatinan dan suasana kebatinan yang sama, yaitu lunturnya nilai etika dan nilai luhur bangsa dan hilangnya kepercayaan akibat terjadinya skandal hukum di Mahkamah Konstitusi. Belakangan seluruh hakim MK dinyatakan melanggar etik saat memutuskan perkara gugatan tersebut. Tetapi tampaknya suara-suara ini tidak mampu menembus dinding istana yang tebal.
Banyak kontra narasi yang sudah dibangun, mulai dari asumsi bahwa ini semua adalah strategi Jokowi dengan mengorbankan anaknya agar Koalisi Perubahan tidak berkuasa, Jokowi yang ingin menyelamatkan pencapaian Indonesia Emas di tahun 2045 dengan keluar dari bayang-bayang Ibu Megawati, sampai penggunaan potongan video dan meme yang berulang kali ditampilkan dengan narasi yang terang-terangan memojokkan PDI Perjuangan. Walaupun sudah menggunakan dominasi penguasaan media lewat Kominfo dan cyber, tetapi narasi-narasi seperti itu dengan mudah dipatahkan karena alur logikanya susah dipahami dan sulit dicerna oleh insan dengan nurani yang bersih.
Suara hati nurani para tokoh bangsa, budayawan, agamawan, seniman dan cendikiawan yang tergabung dalam Forum Rektor tidak bisa dibungkam oleh kekuatan apapun dan diperkirakan gelombangnya akan terus membesar. Belum lagi suara-suara orang yang selama ini sangat mendukung Jokowi, yang kemudian berbalik menjadi sangat kecewa dengan keputusan Jokowi yang memaksakan Gibran sebagai cawapres melalui keputusan MK yang legal tetapi cacat etika. Jika tidak dilakukan kanalisasi yang tepat, maka jelas ini akan menggerogoti legitimasi Presiden di tahun akhir pemerintahannya. Mereka-mereka ini jelas adalah golongan yang tidak takut oleh ancaman bahkan dari Kepala Staf Kepresidenan sekalipun, seperti yang diungkapkan Moeldoko kemarin.
Dari sisi koalisi pendukung pasangan Prabowo – Gibran bisa dikatakan adalah koalisi yang rapuh dan hanya berdasarkan kepentingan politik dan keselamatan politik semata. Di Pilpres mereka secara legal formal mendukung pasangan Prabowo – Gibran, tetapi di pemilihan legislatifnya mereka bertarung sendiri di kolam yang sama. Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, PAN, PSI, Garuda dan PBB memiliki segmen pemilih yang sama dan berhimpit. Sehingga mudah dipastikan bahwa selain Gerindra, yang lain akan lebih fokus untuk memenangkan partainya dalam pemilihan legislatif di DPR RI. Apalagi mereka tidak memiliki kader yang diusung, sehingga tidak akan mendapatkan coat tail effect (efek ekor jas) dari pasangan Prabowo – Gibran.
Kondisi ini berbeda dengan Koalisi Perubahan yang mengusung Anies Baswedan dan Muaimin Iskandar. Mereka diusung oleh tiga partai politik yang memiliki segmen yang total berbeda, yaitu Partai Nasdem dengan segmen nasionalisnya, PKB dengan segmen Islam tradisional dan PKS dengan segmen Islam moderat. Demikian pula koalisi yang mendukung pasangan Ganjar – Mahfud, yaitu PDI Perjuangan, PPP, Hanura dan Perindo. Masing-masing sudah memiliki segmen pasar sendiri yang tidak saling kanibal.
Sementara Jokowi sendiri sampai saat ini memang masih memiliki pendukung yang loyal. Ibaratnya ‘Pejah Gesang Nderek Pak Lurah’. Tetapi jumlahnya sudah banyak tergerus, karena salah satu alasan utama mereka mendukung Jokowi adalah karena tidak suka dengan Prabowo. Tidak mudah untuk menggiring mereka ke Prabowo, walaupun sudah ada Gibran sebagai wakilnya. Posisi Jokowi saat ini ibarat matahari di jam 2 siang. Sinarnya emang masih menyengat, tetapi perlahan akan merangkat ke jam tiga dan jam empat, yang tinggal menyisakan kehangatan dan bayangan yang panjang. Ini siklus alam yang tidak bisa dilawan oleh apapun.
Kalau sampai terjadi putaran kedua dan Jokowi tetap bertahan pada pendiriannya, maka bisa dipastikan itu adalah awal lonceng kematian karier politik Jokowi. Semua lembaga survey yang kredible menempatkan Prabowo dan Ganjar yang akan masuk ke putaran kedua dan PDI Perjuangan juga diramalkan akan menjadi partai pemenang pemilu. Saat itu peta politiknya pasti akan berubah drastis. Partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju pasti akan berpikir ulang bahkan bukan tidak mungkin melakukan banting setir untuk menyelamatkan pilihan politiknya. Ketakukan para tokohnya atas ancaman proses hukum jelas akan berkurang, karena Jokowi sudah akan berada pada posisi matahari jam lima sore. Sementara Koalisi Perubahan juga tidak punya terlalu banyak pilihan. Dengan komunikasi politik yang lebih terbuka, maka PDI Perjuangan akan memperoleh banyak kawan baru untuk berjuang di putaran kedua dan memenangkan pasangan Ganjar – Mahfud.
Prabowo sendiri jelas bukan sosok yang mudah dijual untuk menjadi Presiden Republik Indonesia. Sesungguhnya kesempatan terbesar bagi Prabowo untuk menjadi Presiden Indonesia adalah di tahun 2014, ketika dia berpasangan dengan Hatta Radjasa melawan Jokowi yang baru menjabat Gubernur DKI selama dua tahun. Secara fisik Prabowo sepuluh tahun yang lalu masih sangat bugar. Wakilnya juga hebat. Hatta adalah Ketua Umum PAN, Menko dan sudah berpengalaman menjadi menteri di empat pos kementerian yang berbeda, sekaligus juga besan Presiden SBY yang masih berkuasa saat itu. Pada keunggulan posisi seperti itu pun Prabowo tidak mampu memenangkan pilpres. Rekam jejak di masa lalu dan ketidak-stabilan emosinya menjadi beban yang sangat menghambat. Apalagi saat ini, ketika kondisi fisiknya yang sudah menurun dimakan usia dan penyakit, beban psikologis drama Korea di Mahkamah Konstitusi, kegagalan kinerjanya di proyek Food Estate dan pembelian pesawat bekas, membuat ruang geraknya yang semakin terbatas.
Skenario ini yang membuat Jokowi berusaha mati-matian meraih kemenangan dalam satu putaran. Segala sumber daya, baik manusia, alat maupun materi akan dikerahkan untuk itu. Tetapi jelas ini tidak mudah. Keterbatasan fisik Prabowo membuatnya tidak mungkin untuk roadshow panjang berkeliling seluruh Indonesia untuk berkampanye menemui warga dari Miangas sampai Pulau Rote. Yang akan berkeliling adalah Gibran sebagai simbol anak muda, tetapi mengemban cacat etika dalam pencalonannya. Gibran jelas bukan Jokowi di 2014 yang mengusung tema Jokowi adalah kita. Gibran bukan bagian dari kita, tetapi anak Presiden yang hanya memiliki pengalaman politik selama dua tahun sebagai Walikota Solo dan dikarbit menjadi calon wakil presiden.
Belum lagi desakan dari banyak tokoh bangsa yang diperkirakan semakin menggema di sudut-sudut negeri. Ini akan memicu kepanikan yang membuat Jokowi ada kemungkinan bisa mengambil keputusan dan spekulasi politik yang semakin brutal. Dampaknya jelas, akan semakin membuat mendung semakin kelabu. Sangat disayangkan bahwa Presiden yang dipuja banyak rakyatnya selama sembilan tahun memerintah, harus kehilangan segalanya di tahun terakhir pemerintahannya, hanya semata demi nafsu kekuasaan.
Apakah ada skenario lain yang lebih elegan? Tentu. Dalam politik semuanya bisa berubah dalam hitungan yang sangat cepat. Dan hanya Jokowi sendiri yang mampu untuk melakukannya. Jokowi adalah orang yang awalnya ngebut di jalur demokrasi, tiba-tiba bukan hanya menginjak rem, tetapi bahkan memasang palang di jalan demokrasi yang akan dilalui Indonesia. Hanya Jokowi yang bisa menyingkirkan palang yang dia bikin dan kembali ke jalur yang lebih lurus. Kesempatan masih terbuka. Pertanyaannya adalah apakah dia akan melakukannya atau rakyat yang sudah marah bisa juga menyingkirkan palang sendiri atau bahkan mengarah perpecahan bangsa.
Semoga Jokowi bisa kembali menjadi Jokowi yang dulu, yang dicintai oleh rakyatnya dan disegani oleh lawan politiknya. Bukan Jokowi yang dicerca mantan pendukung fanatiknya, tidak dipercaya oleh para tokoh bangsa, dan bahkan menjadi bulan-bulanan di media sosial. Dengan kembali ke jalan yang lurus (shirathol mustaqim), Jokowi akan mampu lengser keprabon pada waktunya dan menjadi tokoh bangsa yang dikenang sebagai orang yang meletakkan fondasi bagi Indonesia Emas di 2045. Insya Allah.
Oleh: Bona, Pengamat Politik