JAKARTA – Masyarakat harus cerdas menilai mana janji politik yang mungkin direalisasi dan mana yang hanya angan-angan belaka. Janji kampanye menjadi semacam pemikat atau promosi dari sang calon, yang alih-alih mengangkat namanya, justru jadi bumerang jika tidak dapat direalisasikan.
Pernyataan itu disampaikan pengamat komunikasi politik sekaligus CEO Nusakom Pratama Ari Junaedi dalam talk show membahas “Pemilu dan Janji Politik” di Programa 3 RRI, Jumat, 20 Oktober 2023.
Ari menegaskan, janji-janji ibarat kecap. Tidak ada kecap nomor dua, semua selalu nomor satu. “Janji-janji itu membuat masyarakat bingung. Karenanya, masyarakat harus memilah mana janji yang realistis dan mana yang bombastis,” ungkap doktor politik dari Universitas Padjajaran ini.
Demi pendidikan politik yang mencerdaskan, Ari mengingatkan politisi untuk menggunakan data jika menyampaikan janji politik. “Janji menggratiskan BBM misalnya, jelas sangat tidak masuk akal. Bagaimana ongkos produksinya?
Selain itu, pajak BBM juga menjadi sumber pendapatan negara,” urainya.
Selain itu, janji-janji seperti menaikkan gaji guru 500 persen juga tak realistis. Atau juga janji-janji lain, seperti menggratiskan BPJS, Pajak Kendaraan dll. “Bagaimanapun janji yang diucapkan itu akan jadi jejak digital yang tak bisa dihapus. Lidah tak bertulang, tapi janji politik juga tak bisa ditagih karena tak ada ketentuan hukumnya,” jelasnya.