Ari menyarankan, para politisi memberi janji sesuai rekam jejaknya. Kalau dia berlatar pengusaha, janji membuka lapangan kerja merupakan hal yang masuk akal. Atau kalau seorang politisi berlatar pendidik, maka ia bisa memberi janji yang rasional. “Sayangnya, banyak politisi punya background tak menunjang, tidak pernah berkecimpung di bidang-bidang praktis,” terangnya.
Inkonsistensi dalam janji politik juga tampak saat sebuah parpol berjanji akan mencoret calegnya yang pernah menjadi narapidana korupsi. Faktanya, sampai Daftar Caleg Tetap (DCT) disahkan, caleg-caleg bermasalah itu tetap bercokol. “Bagaimana publik percaya pada jargon memberantas korupsi, tapi ternyata masih ada calegnya tersangkut korupsi?” tanya Ari.
Pengajar komunikasi di berbagai kampus iti menyimpulkan, saat ini masyarakat jadi pengadil atau hakmi bagi politisi. “Jangan sampai terlalu banyak janji diproduksi, malah jadi lucu, melebihi Srimulat dan Warkop DKI,” tukasnya. Ari mencontohkan, anggaran dana desa sebesar Rp 1 miliar per tahun seharusnya digunakan tepat sasaran seperti program padat karya dan pembangunan infrastruktur yang menunjang produktivitas warga. Sementara yang terjadi, malah dihembuskan angin surga bahwa dana desa akan ditambah jadi Rp 5 miliar per tahun.
Ari Junaedi mengungkapkan, semua janji politik harus dilihat, diterabang, dan diterawang, karena janji-janji itu tak ada produk hukum mengikat. “Kembali lagi, visi misi calon legislatif, calon kepala daerah hingga calon presiden harus berpijak pada kenyataan dan berpegang pada data. Jangan seperti mereka yang saat pegang posisi jadi kepala daerah atau menteri tak becus, tapi kemudian bikin janji lagi untuk jabatan lebih penting,” pungkasnya.