Jakarta – Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terkait pelanggaran etika dalam penetapan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (Cawapres) jangan diabaikan.
Hal itu, disampaikan ahli filsafat sekaligus imam Katolik, Prof Dr Franz Magnis Suseno, dalam Sidang Permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pasangan Calon (paslon) nomor urut 3, di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (2/4/2024).
“Pernyataan pelanggaran etika oleh MKMK dan DKPP kalau diabaikan, tentu saja memberi preseden buruk asal ada kekuasaan maka bukan hanya etika tetapi juga hukum tidak perlu diperhatikan,” kata filsuf yang akrab disapa Romo Magnis.
Ia mengatakan, pelanggaran etika akan berakibat memperlemah struktur negara Indonesia sebagai negara hukum, dan akan menimbulkan pembiaran untuk dimaklumi masyarakat bahwa penguasa bebas melakukan pelanggaran etika dan hukum.
Hakim yang mengadili permohonan PHPU Pilpres 2024, diharapkan tidak mengabaikan putusan MKMK dan DKPP karena tergolong pelanggaran etika berat.
“Jadi penguasa bisa mengatakan abaikan saja itu (putusan MKMK dan DKPP), dengan sendirinya ini memperlemah struktur negara sebagai negara hukum. Indonesia adalah negara hukum, dan mengabaikan keputusan yang menyatakan ada pelanggaran etika berat, maka hal itu juga merupakan pelanggaran etika yang berat,” ujar Romo Magnis.
Seperti diketahui, pada 7 November 2023, MKMK membaca putusan yang menyatakan bahwa hakim konstitusi Anwar Usman melakukan pelanggaran berat terhadap etika karena mengadili dan memutuskan perkara nomor 90 dengan potensi benturan kepentingan yang kemudian memberikan keuntungan kepada kerabatnya, dalam hal ini Gibran Rakabuming Raka selaku keponakannya.
Selanjutnya, pada 5 Februari 2024, DKPP membacakan putusan yang menyatakan, termohon KPU melanggar etika bahkan Ketua KPU, Hasyim Asy’ari, diberi sanksi peringatan keras karena termohon menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka tanpa terlebih dahulu melakukan perubahan peraturan KPU nomor 19 Tahun 2023.
Pelanggaran KPU itu membuktikan, awal mula kontestasi Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres adalah pelanggaran etika berat, sehingga majelis hakim MK yang mengadili permohonan PHPU harus memperhatikannya dan melakukan koreksi melalui proses hukum atas pelanggaran tersebut.
Romo magnis menjelaskan, suatu negara yang ditata menurut Undang-Undang dan menegakkan hukum yang adil dan bijaksana, maka tidak perlu penegakkan etika yang tinggi karena baik penguasa hingga masyarakat dengan sendirinya akan melakukan atau menerapkan.
“Tapi sebaliknya kalau negara tidak menegakkan etika, maka orang akan melanggar itu, dan hanya akan patuh kalau diawasi,” ungkap dia.
Menanggapi pertanyaan kuasa hukum paslon nomor urut 2 tentang apa perbedaan etika hukum dan etika filsafat dalam proses peradilan atas permohonan PHPU di MK, ia mengatakan, tidak ada yang berbeda.
“Apakah ada perbedaan etika hukum dan etika filsafat, tentu saja tidak,” kata Romo Magnis.
Dia menjelaskan, suatu ketentuan etis yang tidak dirumuskan dalam hukum memang tidak bisa ditindak oleh para hakim dan yudikatif tetapi menjadi unsur untuk menilai seseorang atau suatu lembaga, dibantu oleh bidang yang merumuskan kode etik dalam poin-poin yang relevan hal-hal yang perlu diperhatikan.
“Hakim boleh mendasarkan diri pada satu ketentuan hukum yang harusnya diketahui, dan tidak berarti harus tercatat resmi. Jadi masalah hukum tetap harus didasari etika atau etika tidak dilanggar,” ungkap Romo Magnis.