Tokyo – Pelan tapi pasti, berbagai isu negatif yang melanda Jepang mulai berdampak pada sektor ekonomi. Melemahnya permintaan dari China, penurunan tingkat konsumsi masyarakat, hingga skandal yang menimpa Toyota Motor Corp. membuat pertumbuhan ekonomi Jepang terkoreksi.
Produk domestik bruto (PDB) Jepang turun 0,4% secara tahunan (year-on-year/yoy) pada periode Oktober-Desember 2023 setelah turun 3,3% pada kuartal sebelumnya. Padahal, ekonom sebelumnya memperkirakan median pertumbuhan Jepang akan naik sebesar 1,4%.
“Yang paling mencolok adalah lesunya konsumsi dan belanja modal yang merupakan pilar utama permintaan domestic. Perekonomian akan terus kekurangan momentum untuk saat ini tanpa adanya pendorong utama pertumbuhan,” kata Yoshiki Shinke, Ekonom Eksekutif Senior di Dai-ichi Life Research Institute, sebagaimana dilansir dari Reuters.
Kontraksi dua kuartal berturut-turut biasanya dianggap sebagai definisi resesi teknis. Meskipun banyak analis masih memperkirakan Bank of Japan (BOJ) akan menghentikan stimulus moneternya secara bertahap pada 2024, data yang lemah menimbulkan keraguan terhadap perkiraan Bank of Japan bahwa kenaikan upah akan mendukung konsumsi dan menjaga inflasi tetap berada di sekitar target 2%.
“Penurunan PDB dua kali berturut-turut dan penurunan permintaan domestik tiga kali berturut-turut adalah berita buruk, meskipun revisi tersebut dapat mengubah angka akhir Hal ini mempersulit bank sentral untuk membenarkan kenaikan suku bunga, apalagi serangkaian kenaikan,” ucap Ekonom Senior Moody’s Analytics, Stephan Angrick.
Sementara itu, Menteri Perekonomian Jepang Yoshitaka Shindo kembali menekankan perlunya mencapai pertumbuhan upah yang solid untuk mendukung konsumsi. Ia menggambarkan hal itu sebagai “kurangnya momentum” karena kenaikan harga.
“Pemahaman kami adalah bahwa BOJ memperhatikan secara komprehensif berbagai data, termasuk konsumsi, dan risiko terhadap perekonomian dalam mengarahkan kebijakan moneter,” bebernya.