Irak – Pangkalan militer Amerika Serikat di Irak kembali jadi sasaran serangan roket. Pihak keamanan Irak menjelaskan bahwa pangkalan tersebut berada dalam kompleks Bandara Internasional Baghdad. Beberapa roket behasil ditembak jatuh oleh sistem pertahanan, sementara yang lolos tidak menimbulkan kerusakan serius.
“Pangkalan militer Amerika Serikat di Bandara Baghdad menjadi target serangan tiga roket. Sistem pertahanan pangkalan berhasil menjatuhkan dua roket, sedangkan satu roket lain jatuh dekat markas Komando Layanan Kontra Terorisme,” jelas pihak keamanan Irak.
Hingga saat ini, belum ada satu pun pihak yang mengaku bertanggungjawab atas serangan tersebut. Meski begitu, pihak keamanan memastikan serangan ini tidak mengganggu operasional bandara. Semua penerbangan sesuai jadwal tanpa adanya penundaan.
Serangan terhadap markas militer Amerika Serikat ini terjadi seiring meningkatnya eskalasi konflik di Timur Tengah. Terutama akibat perseteruan antara Israel dengan milisi Hizbullah dari Lebanon. Banyak pengamat khawatir situasi ini akan mengarah pada konflik terbuka dengan cakupan yang lebih luas.
Perang Iran vs Amerika Serikat
Bila Hizbullah mendapat dukungan Iran, maka Israel mendapat dukungan Amerika Serikat. Artinya, perang Hizbullah melawan Israel bakal menyeret keterlibatan langsung Iran dan Amerika Serikat dalam arena. Dalam skala lebih luas, itu juga akan menarik negara-negara sekutu keduanya seperti Rusia, Inggris, dan Prancis.
Dugaan adanya campur tangan Iran maupun proxy-nya cukup logis. Sejak perang terbuka antara Israel dan Hamas di Jalur Gaza pecah pada Oktober tahun lalu, faksi-faksi militan pro-Iran semakin meningkatkan serangan terhadap pangkalan-pangkalan militer di Irak dan Suriah. Terutama pangkalan-pangkalan yang menampung pasukan Amerika Serikat.
Serangan terjadi karena dukungan Amerika Serikat terhadap Israel. Sebagai respons, Amerika Serikat berulang kali melancarkan serangan balasan terhadap markas faksi-faksi tersebut.
Saat ini setidaknya ada sekitar 2.500 tentara Amerika Serikat di Irak dan sekitar 900 tentara di Suriah. Mereka menjadi bagian dari koalisi internasional untuk melawan kelompok radikal Islamic State (ISIS). Inggris dan Prancis juga tergabung dalam koalisi itu. Dengan persenjataan berteknologi tinggi, mereka memiliki kemampuan mobilitas yang luar biasa dan mematikan.