Jakarta – Pengamat kajian politik dan keamanan internasional dari Universitas Murdoch, Ian Wilson, memprediksi yang akan dilakukan Prabowo Subianto jika memenangkan Pemilu 2024. Prediksi tersebut diungkapkannya dalam artikel “An Election to End All Election?” yang dirilis Fulcrum.
“Jika Prabowo dapat mempertahankan popularitasnya seperti yang dilakukan Jokowi, ia mungkin akan merasa berani untuk menunjukkan kekuatan otoriternya dan sekali lagi mendorong pembatalan amandemen konstitusi pasca tahun 1999 dan diakhirinya pemilihan langsung,” tulis Wilson.Penyelenggaraan Pemilu dengan format proporsional tertutup memang sempat menjadi isu nasional pada bulan Mei 2023 kemarin. Saat itu ada wacana Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggunakannya dalam pemilihan kepala daerah. Namun wacana tersebut langsung mendapat banyak penolakan. Kecuali PDI Perjuangan, delapan fraksi lain di DPR tegas menolak.
Secara teknis, Pemilu proporsional tertutup hanya memberikan peluang kepada masyarakat untuk memilih partai. Tidak memilih siapa yang akan menjadi wakilnya di DPR.
“Ini berarti pembatalan amandemen konstitusi yang dibuat antara tahun 1999-2002 yang mendukung pemilu demokratis, perlindungan hak asasi manusia, dan batasan masa jabatan presiden (dua periode lima tahun),” tambahnya.
Prediksi Wilson didasarkan atas apa yang terjadi pada tahun 2014. Saat itu Prabowo memimpin koalisi parlemen multi-partai yang mengesahkan RUU Pilkada. UU itu memungkinkan kepala daerah, termasuk gubernur, ditunjuk parlemen atau seperti sebelum 2005. Proses pengesahan UU itu berlangsung alot sehingga harus melalui pemungutan suara. Koalisi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) mendukung produk hukum tersebut.
Selain itu, Wilson menduga langkah Jokowi mengangkat Prabowo menjadi Menteri Pertahanan sebagai upaya menghilangkan oposisi di parlemen dan membatasi muncul basis kekuatan yang saling bersaing.
Kondisi tersebut tak ditunjukkan secara terang-terangan, tetapi melalui koalisi dan negosiasi antar elite. Dengan skenario semacam itu, proses inti demokrasi seperti pemilu bisa dipertahankan, meski dalam skala yang lebih kecil.
“Namun, potensi untuk menghasilkan perubahan substantif sebagian besar hilang,” pungkasnya.