Jakarta – Sebentar lagi rakyat Indonesia akan menggelar Pesta Demokrasi pada tanggal 14 Februari 2024. Banyak hal muncul dalam pemilu kali ini yang dirasa menurunkan kualitas demokrasi, seperti pelanggaran etika berat di Mahkamah Konstitusi, politik dinasti, politisasi bansos, alat negara yang seakan diarahkan untuk mendukung calon tertentu, tekanan atau penjegalan pada calon tertentu, hambatan dalam kebebasan berpendapat. Bahkan Presiden sudah menyatakan secara terbuka bahwa dirinya berhak berkampanye dan mendukung salah satu paslon. Tentunya dengan syarat-syarat tertentu.
Juru Bicara Timnas AMIN Indra Charismiadji menyampaikan informasi terkait Generasi Z dan Milenial yang kabarnya mewakili 56,45% dari Daftar Pemilih Tetap (DPT). Menurutnya, Timnas AMIN sangat bahagia dan bangga dengan respon serta aksi generasi muda Indonesia terhadap kondisi politik dan kehidupan bernegara.
“Mereka sudah mematahkan stigma negatif tentang generasi muda yang sering disebut Generasi Stroberi atau Stroberry Generation yang terstigma mudah terpengaruh, sensitif, serta kurang tangguh menghadapi tekanan dan tantangan,” papar Indra.
Indra menyampaikan bahwa pada saat awal kampanye, kubu AMIN sangat khawatir Indonesia akan bernasib seperti Filipina yang pada tahun 2022 lalu memilih Bongbong Marcos dan Sara Duterte sebagai presiden dan wakil presidennya. Bongbong Marcos adalah putra Ferdinand Marcos, Sr., seorang diktator, koruptor sekaligus pelanggar HAM berat yang menjabat sebagai presiden Filipina dari tahun 1965 sampai 1986. Di bawah kepemimpinan Marcos senior, Filipina menjadi negara yang amat miskin dan tidak berkembang karena kekayaan negara dikorupsi oleh presiden dan kroni-kroninya. Sementara itu, Sara Duterte adalah putri kandung Rodrigo Duterte, presiden Filipina yang sedang berkuasa pada saat pemilu dilaksanakan.
Kemenangan Bongbong Marcos dan Sara Duterte ini tidak lepas dari campur tangan Presiden Rodrigo Duterte ingin mengajukan penambahan periode kekuasaan, tetapi ditolak parlemen karena bertentangan dengan konstitusi. Akhirnya Presiden Rodrigo Duterte menjalankan politik dinasti dengan memasangkan Bongbong Marcos dengan putrinya di Pilpres Filipina.
Kampanye yang mereka jalankan mayoritas dilakukan melalui media sosial. Narasi yang dikembangkan pada dasarnya adalah pembodohan. Mengklaim era ayah Bongbong berkuasa adalah era kejayaan dan kemakmuran Filipina yang harus dikembalikan lagi. Gerekan mereka yang massif menguasai berbagai macam platform media sosial. Kemudian melakukan pengerahan banyak buzzer bayaran untuk menyebarkan info, percakapan-percakapan dan klaim-klaim bohong untuk mendukung klaim sebagai kandidat pemimpin terbaik untuk Filipina.
Konten video kampanye mereka lebih banyak joget-joget. Menghindari pembaahasan hal-hal substantif karena minimnya penguasaan isu. Rakyat Filipina diajak bersenang-senang dengan hiburan tanpa isi sambil didorong info-info dan klaim-klaim bohong. Sayangnya karena tingkat literasinya rendah, generasi muda Filipina tidak mampu mencari referensi yang tepat, hanyut dalam masifnya konten palsu, dan termakan narasi dibuat para buzzer.
Seorang akademisi Fiipina bernama Maria Elize Mendoza, mengatakan bahwa pasangan Bongbong dan Sara sering tidak hadir dalam debat. Memilih joget-joget dan menyebarkan narasi hoaks daripada membahas isu-isu penting. Nyatanya, kampanye model begini justru sukses besar. Mereka pun terpilih untuk memimpin Filipina.
“Kami benar-benar takut kalau kondisi yang sama terjadi di Indonesia karena ada paslon yang kondisi dan gaya kampanyenya sangat mirip dengan Bongbong dan Sara. Kabarnya bahkan paslon tersebut memang menggunakan jasa konsultan politik yang sama. Syukurlah, pola tersebut hanya sukses di awal saja. Ternyata anak Indonesia lebih memilih yang nyata daripada yang artifisial,” jelas Indra.
Menurut Indra ternyata anak Indonesia lebih memilih untuk tahu betul siapa calon pemimpinnya, apa gagasannya, mau dikritik atau tidak, dan memiliki kompetensi serta rekam jejak untuk memimpin negara besar ini.
“Kami sangat bangga dengan anak-anak Indonesia, mereka cerdas, kritis, tangguh, dan punya jiwa pejuang. Mereka sudah menghancurkan stigma generasi stroberi, atau mungkin lebih cocok generasi belimbing sayur ya, yang cenderung apatis, tidak peduli pada sekitar, dan jika ada masalah akan mudah patah semangat dan depresi. Tapi anak-anak Indonesia justru muncul sebagai sosok tangguh,” tukasnya.