Jakarta – Guru Besar Epidemiologi Lingkungan dari Universitas Indonesia (UI) Budi Haryanto menegaskan, Indonesia memerlukan pemimpin responsif yang memahami persoalan lingkungan hidup.
Diakuinya, persoalan lingkungan yang kini terjadi di Indonesia belum direspons secara cepat dan tepat dengan program-program yang betul-betul berdampak signifikan.
Hal itu diungkapkan Budi menanggapi rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menyelenggarakan Debat Cawapres, pada Minggu (21/1/2024), yang mengusung tema Pembangunan Berkelanjutan, Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup, Energi, Pangan, Agraria, Masyarakat Adat, dan Desa.
Debat akan mempertemukan Cawapres Nomor Urut 1 Muhaimin Iskandar (Cak Imin), Cawapres Nomor Urut 2 Gibran Rakabuming Raka, dan Cawapres Nomor Urut 3 Mahfud MD.
“Persoalan lingkungan berkaitan dan berdampak langsung pada berbagai masalah kesehatan. Dan, hingga saat ini belum dituntaskan, meskipun berbagai program sudah dilakukan,” kata Budi di Jakarta, Minggu (14/1/2024).
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat UI (FKM-UI) itu berpendapat, Visi Misi para Capres-Cawapres tidak secara spesifik menyinggung persoalan lingkungan dan kesehatan yang dihadapi penduduk saat ini.
“Visi Misi Capres-Cawapres cenderung untuk masa yang akan datang, bukan masa kini. Padahal, Indonesia sedang menghadapi persoalan lingkungan yang berdampak pada kesehatan. Ide atau gagasan belum merespons persoalan yang sedang dihadapi,” katanya.
Lebih lanjut dikatakan, kerusakan lingkungan makin hari makin parah, yang antara lain menyebabkan perubahan iklim, cuaca ekstrem yang memicu banjir dan longsor, serta bencana alam gempa bumi.
Perubahan iklim, ujarnya, sudah terjadi dan akan terus terjadi serta berdampak besar pada lingkungan. Oleh karena itu, harus ada upaya spesifik untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan itu.
“Misalnya, terjadi hujan deras. Bagaimana mengantisipasi banjir dan tanah longsor. Apa yang harus dilakukan. Ini tidak muncul dalam gagasan Capres-Cawapres. Paling tidak dipikirkan apakah yang harus dilakukan untuk mengatasi perubahan iklim,” tukasnya.
Dia menyebut, memang ada program energi bersih. Masalahnya, perubahan iklim sudah terjadi dan berjalan terus, sedangkan energi terbarukan itu baru akan dilakukan.
“Artinya, energi diprioritaskan untuk ke depan. Pemicu perubahan iklim, dari sisi energi sudah dilakukan agar tidak makin prah akibatnya. Tapi, apakah itu bisa turut andil, seberapa massif akan terjadi?” tanyanya.
Penyakit Menular
Budi memaparkan, beberapa jenis penyakit menular yang muncul akibat perubahan dan kerusakan lingkungan, di antaranya Malaria, Demam Berdarah Dengue (DBD), dan Tuberculosis (TBC).
Untuk pengendalian DBD, katanya, digembar-gemborkan upaya pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dan satu rumah satu juru pemantau jentik (Jumantik), tapi kasus DBD tetap saja meningkat.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan, hingga Oktober 2023, terdapat 68.996 kasus DBD dengan kasus kematian mencapai 498 jiwa.
Sementara itu, data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dirilis 7 November 2023, menempatkan Indonesia pada urutan kedua teratas kasus tuberkulosis di dunia. Kemenkes RI mencatat, per 3 November 2023, total kasus TBC sebanyak 658.543 kasus.
Demikian juga upaya mengeliminasi wabah malaria di tingkat Kota/Kabupaten belum berhasil, karena secara nasional angka kasus malaria masih tinggi. Berdasarkan data Kemenkes RI, Indonesia adalah salah satu negara endemis malaria dengan jumlah kasus mencapai 443.530, di mana 89% kasus positif malaria berasal dari Provinsi Papua.
“Hal-hal yang sudah dilakukan puluhan tahun nyaris tidak ada hasilnya. Semua akibat lingkungan terdampak kepada manusia. Bisakah capres-cawapres punya ide untuk mengendalaikan kerusakan yang sedang berjalan, serta membuat inovasi agar dampak perubahan lingkungan tidak semakin parah,” pungkasnya