Jakarta – Capres nomor urut 1 Anies Rasyid Baswedan menyinggung soal kondisi Indonesia yang saat ini mulai keluar dari norma demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik atau good governance.
Hal itu disampaikan Anies dalam acara diskusi bertajuk ‘Indonesia and the World: 1 Jam Bersama Anies’ di Conference on Indonesian Foreign Policy 2023 (CIFP 2023)-FPIC Dino Patti Djalal di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Sabtu (2/12).
Awalnya, Anies menyebut bahwa saat ini banyak negara yang mulai mengarah ke prinsip non-demokrasi (kediktatoran) dan sistem less good governance.
“Kita menyaksikan bahwa terjadinya kondisi negara yang bergerak ke arah non-democracy, tetapi mau dibilang otoriter belum nampak dan juga bergerak ke arah less good governance, tetapi dibilang corrupt juga belum,” kata Anies.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu pun kemudian menyinggung soal demokrasi di tanah air yang dinilainya sudah keluar dari jalur.
“Namun, saat ini kita juga tak lagi berada lagi di track democracy consolidation dan good governance. Ini terjadi di seluruh dunia,” ucap Anies.
Anies pun menyoroti Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2022 dengan skor 34. Menurut Anies hal itu tidak baik.
Dia berujar bahwa saat ini hampir 37 persen populasi dunia berada di dalam sistem rezim otoriter. Bahkan, dia menyebut bahwa indeks demokrasi di 92 Negara tengah mengalami stagnan atau penurunan nilai.
Anies pun juga menyayangkan adanya penurunan indeks persepsi korupsi untuk Indonesia yang meraih skor 34 pada 2022.
“Perubahannya cukup signifikan dari skor 36 pada 2018 dan menjadi skor 34 pada 2022. Which is not good,” ungkapnya.
Sementara itu, ia pun berharap agar ke depannya Indonesia dapat menjadi agenda setter di kancah dunia.
“Saya sepaham dengan pandangan bahwa Indonesia sudah tidak boleh lagi hanya menjadi penonton dan partisipan pasif di gelanggang dunia. Indonesia terlalu besar, terlalu berpotensi untuk jadi penonton di samping. Indonesia harus tampil di depan, harus menjadi agenda setter bagi percakapan dan arah perkembangan dunia,” tuturnya.
Ia pun mencontohkan pada saat Konferensi Asia-Afrika yang diselenggarakan di Indonesia pada zaman pemerintahan Presiden Pertama RI, Sukarno. Menurutnya Konferensi itu menjadi salah satu wadah anak muda Indonesia dalam mengekspor gagasan kepada dunia.
“Dan sudah sepatutnya, kita punya sejarah yang gemilang. Ini saya tunjukkan beberapa ilustrasi. Bagaimana gagasan awal Bung Karno pada waktu itu menggagas tentang Konferensi Asia-Afrika di saat Indonesia masih miskin. Tapi konferensi itu jadi inspirasi seluruh dunia, bagaimana spirit of Bandung itu menginspirasi para pemimpin gerakan kemerdekaan di Asia dan Afrika,” ucapnya.
“Dan gagasannya bukan tentang bagaimana negara lain datang ke Indonesia, tapi gagasannya bagaimana Indonesia mengekspor gagasan, mengekspor pikiran, terobosan untuk menjadi inspirasi dunia,” pungkasnya.