Jakarta – Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Republik Indonesia Jusuf Kalla mengkritik keras pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dinilainya jauh dari harapan masyarakat.
Wapres era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jokowi itu bahkan mewanti-wanti adanya potensi jatuhnya pemerintahan Jokowi karena krisis di bidang politik dan ekonomi.
Hal tersebut disampaikan pria yang akrab disapa JK itu dalam acara Habibie Democracy Forum yang digelar di Jakarta, Rabu (15/11). Awalnya, dia menyinggung soal kegagalan pemerintah hari ini.
“Kemakmurannya tidak capai, adilnya tidak jalan, demokrasinya tidak jalan, maka terjadilah. Karena itulah maka kita harus menghindari itu terjadi pada dewasa ini,” kata pria yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) ini.
JK lantas menceritakan ihwal kejatuhan pemerintahan Presiden Soekarno setelah lawan-lawan politiknya ditangkapi, disusul dengan kenaikan harga yang ramai-ramai diprotes oleh masyarakat.
Pada tahun 1998, situasi serupa dialami Presiden Suharto yang pendekatan otoriternya dikecam banyak pihak. Pada saat bersamaan, Indonesia pun dihantam oleh krisis keuangan dunia yang membuat harga melambung tinggi.
Menurut JK, catatan sejarah itu menunjukkan bahwa krisis politik dan krisis keuangan yang terjadi bersamaan dapat membuat pemerintahan jatuh.
“Jadi dua krisis bersamaan timbul, (krisis) poltiik terjadi, ekonomi terjadi waktu yang bersamaan atau saling mempengaruhi maka jatuhlah suatu pemerintahan. Artinya, demokrasinya tidak jalan, tujuannya tak jalan, yaitu kesejahteraan,” ujar Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) ini.
Berkaca pada situasi terkini, JK menilai sudah banyak pihak yang menyuarakan kegelisahan mereka atas situasi demokrasi di Indonesia. JK pun termasuk pihak yang menilai demokrasi di pengujung masa jabatan Jokowi sedang tidak baik-baik saja.
“Pak Jokowi bagus pertamanya, bukan karena saya ada di situ, saya tahu betul tidak ada masalah. Tapi setelah 10 tahun, ah, seperti tadi dikatakan (demokrasi mulai bermasalah),” ucapnya.
“Belum 10 tahun sudah bermasalah demokrasi kita di Indonesia ini dengan segala macam masalahnya,” sambung dia.
JK yang juga politikus senior Partai Golkar ini pun menilai bahwa retorika pemerintah akan menggelar pemilihan umum dengan aman dan bebas belum tentu sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan. Di samping itu, kata JK, dunia pun menghadapi situasi ekonomi yang sulit dan itu telah diakui oleh Pemerintah Indonesia.
Menurut JK, perlu ada kepemimpinan yang menghormati kedaulatan rakyat untuk menghindarkan Indonesia dari potensi krisis politik dan keuangan tersebut.
“Presiden (Jokowi) mengatakan ngeri, Menteri Keuangan mengatakan ngeri, maka kalau ini dampaknya bersamaan, maka kita harus hati-hati. Di situ dibutuhkan suatu kepemimpinan yang kuat, yang menghormati kedaulatan rakyat, artinya kembali ke jalur demokrasi yang baik,” kata dia.
Sementara itu, Anggota DPR RI periode 1999-2004 Didi Supriyanto menegaskan, salah satu alasan kemarahan rakyat kepada Suharto adalah karena hukum kalah dengan kekuasaan dan hukum jadi alat kekuasaan.
“Sehingga yang diperjuangkan adalah hukum menjadi panglima dan memerangi KKN. Ketika memaasuki era reformasi secara konsisten kita membangun hukum dan menjadikan Indonesia sebagai negara hukum, bukan lagi negara kekuasaan dengan membentuk berbagai perundang-undangan yang pro keadilan dan kepastian hukum,” kata pria yang juga sebagai advokat senior ini.
Didi melanjutkan, oleh karena itu pemerintah pascareformasi membentuk sejumlah lembaga hukum independen dengan harapan dapat memisahkan antara kekuasaan dengan hukum demi menciptakan Indonesia yang jauh lebih baik ke depan.
“Termasuk membentuk berbagai lembaga antara lain KPK, Komisi Yudisial dan sejumlah komisi-komisi lainnya sampai dengan membentuk Mahkamah Konstitusi (MK) tak lain dan tak bukan agar kekuasaan tidak semena-mena, tapi kekuasaan digunakan untuk kemakmuran berdasar hukum dan keadilan,” tegas Didi.