Jakarta – Praktisi hukum senior Didi Supriyanto mengatakan pelanggaran berat terhadap kode etik yang diterima Anwar Usman dari Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) bisa menjadi celah pidana.
Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik hakim konstitusi dalam uji materi perkara 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres).
MKMK pun mengganjar hukuman Anwar Usman dengan diberhentikan sebagai ketua MK.
“Ini kan jelas terbukti melakukan nepotisme dan melanggar kode etik perkara 90/PUU-XXI/2023,” kata Didi kepada Limapagi, Rabu (8/11).
Anggota DPR RI Periode 1999-2004 ini mengatakan, suatu hal bisa disebut sebagai nepotisme jika ada pihak yang menggunakan wewenangnya untuk kepentingan keluarga dan kroninya.
“Kalau kita mengacu pada Undang-Undang No.28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotise, ekplisit di pasal 1 angka 5, nepotisme itu adalah ketika penyelenggara negara mengunakan wewenangnya untuk kepentingan keluarga atau kroninya,” ucapnya.
“Ini kan jelas Anwar Usman sebagai Paman dari Gibran Rakabuming Raka dan ipar dari Presiden Jokowi,” sambungnya.
Undang-Undang No.28 Tahun 1999 sendiri berbunyi “Tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme tersebut tidak hanya dilakukan oleh Penyelenggara Negara, antar-Penyelenggara Negara, melainkan juga Penyelenggara Negara dengan pihak lain seperti keluarga, kroni, dan para pengusaha, sehingga merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta membahayakan eksistensi negara”
Berdasarkan UU No. 28 tersebut, kata Didi, konsekuensi yang harus diterima Anwar Usman selain pemberhentian sebagai Hakim MK juga terkait pidana karena telah melakuka nepotisme.
“Ya konsekuensinya adalah pemidanaan jadi bukan hanya soal etik saja tapi sudah jelas secara hukum itu diatur dalam UU bisa dipidana,” tegasnya.
Hukuman yang bisa diterima Anwar Usman
Lebih jauh Alumni Fakultas Hukum Bisnis UGM ini menambahkan, hukuman yang bisa diterima Anwar Usman berdasarkan UU tersebut adalah hukuman pidana dan denda.
“Pidana penjara paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp 1 Miliar,” ucapnya.
Selain UU No. 28 Tahun 19999, adik ipar Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu juga bisa dijerat Undang-Undang (UU) nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman pasal 17 ayat 6.
“Seharusnya bukan hanya saksi administrasi dan pidana tapi juga putusan hakim tersebut dinyatakan tidak sah karena putusan MK final dan binding sehingga putusan MK No.90 tidak memiliki kredibilitas dimata publik, apalagi putusan tersebut berimplikasi terhadap kekecewaan yang sangat mendalam pada nasyarakat,” tegas Didi.
Seperti hal nya Didi, sejumlah elemen masyarakat juga banyak yang meminta Anwar Usman untuk mundur sebagai Hakim MK pascaputusan MKMK tersebut. Salah satunya datang dari Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PAN Sarifuddin Sudding.
Sudding memberikan tanggapan terkait hasil putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang memberhentikan Anwar Usman dari jabatannya sebagai Ketua MK.
Dia meminta agar Anwar Usman juga mengundurkan diri sebagai hakim konstitusi.
“Sebagai hakim yang dicabut sebagian kewenangannya oleh MKMK, maka sebaiknya yang bersangkutan mengundurkan diri atau lembaga pengusulnya dapat menarik yang bersangkutan sebagai hakim MK,” kata Sudding, Rabu (8/11).
Selain Sudding, Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Ismail Hasani mengatakan, fakta bahwa Anwar Usman melakukan pelanggaran berat, secara moral dan politik telah pula menjadi bukti bahwa putusan MK bukan diputus Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
“Sebagaimana irah-irah dalam putusan MK, tetapi demi kepentingan memupuk kuasa. Secara moral dan politik, putusan Nomor 90 kehilangan legitimasi. Untuk memulihkan marwah mahkamah, SETARA Institute mendesak Anwar Usman mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Hakim MK, sehingga tidak lagi membebani mahkamah,” tegasnya.