Jakarta – Saya sedih ketika media asing banyak yang ikut membully Indonesia gegara skandal Mahkamah Konstitusi. Kemarin media di Jerman ikutan menulis artikel dengan judul Selamat Tinggal Demokrasi dengan foto Presiden Jokowi dan Gibran.
Padahal sebelumnya hampir semua media asing memberitakan hal yang positif tentang Indonesia dan Presiden Jokowi. Bahkan negara-negara Eropa Barat yang sedang marah gara-gara hilirisasi nikel dan sawit, tetap menulis berita dengan aura positif.
Saya sendiri selalu bangga menceritakan hebatnya Indonesia ketika bertemu dengan mitra bisnis, mitra akademisi maupun mitra politik di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi. Sama sekali tidak pernah terbayangkan bahwa di akhir pemerintahannya, Jokowi melakukan manuver politik yang menabrak konstitusi hanya demi mempertahankan dinasti politiknya.
Di dalam negeri sendiri, selama ini suara sumbang tetap ada, tetapi tidak bisa menggema, tertutup oleh prestasi yang memang diakui oleh mayoritas warga. Ketika ada anak seorang mantan Presiden yang menanyakan soal “revolusi mental”, dengan gagah saya menjawab bahwa “revolusi mental adalah ketika anak-anak dan keluarga Presiden tidak berebut menjadi pejabat publik dan tidak cawe-cawe dalam proyek APBN dan hanya jualan pisang dan martabak”. Saya tahu jawaban saya ini jelas kontradiksi dengan kenyataan yang terjadi akhir-akhir ini.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang di luar kewenangannya secara gamblang memang memuluskan Gibran untuk mencalonkan diri sebagai Calon Wakil Presiden, walau sebenarnya belum cukup umur. Saya tidak anti anak muda, tetapi sangat menyayangkan prosesnya yang jelas-jelas memporak-porandakan reputasi Mahkamah Konstitusi.
Bisa dibayangkan bagaimana MK akan mampu bertindak netral saat menyelesaikan sengketa pemilu. Padahal netralitas MK dan reputasinya adalah pilat utama dari demokrasi yang lahir langsung dari rahim reformasi. Kemarahan rakyat bisa meletus sampai ke level yang berbahaya bagi keutuhan bangsa karena memang MK sudah kehilangan kewibawaannya.
Di tengah kegetiran itu, saya masih melihat satu cahaya terang pada pasangan Ganjar – Mahfud. Masyarakat sekarang sudah lebih cerdas dalam memilih, apalagi di tengah keterbukaan informasi, mana pasangan calon yang lebih layak dipilih. Keadilan dan kebenaran pasti akan menemukan jalannya sendiri. Pengadilan rakyat yang sebenarnya akan terbukti tanggal 14 Februari 2024. Mari kita berjuang bersama, untuk Indonesia yang lebih hebat.
Penulis:
Dr. Harris Turino, ST., SH., MSi., MM
Anggota Komisi VI DPR RI Fraksi PDI Perjuangan