Jakarta – Koordinator Pergerakan Advokat Nusantara (Perekat Nusantara) dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Salestinus menyatakan protes keras atas sikap Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), yang mempersingkat tahapan persidangan perkara etik dan perilaku hakim konstitusi yang diduga dilakukan oleh hakim konstitusi yang juga Ketua MK Anwar Usman.
“Tentu sebagai Pelapor, kami sangat keberatan jika belum apa-apa Ketua MKMK sudah menetapkan akhir masa sidang harus selesai tanggal 7 November 2023, padahal MKMK memiliki jadwal waktu sidang untuk satu bulan lamanya hingga akhir November 2023,” kata Petrus dalam keterangannya, Rabu (1/11).
Petrus berpendapat, usai Mahkamah Konstitusi dirusak, kini MKMK pun dicoba dirusak karena sudah tidak mandiri dan dikendalikan oleh proses politik di KPU bahkan dari Istana.
“Jika MKMK tidak memberikan kesempatan secara maksimal kepada pihak pelapor untuk membuktikan laporannya, maka untuk apa masa bakti MKMK diberikan selama waktu 1 bulan,” ucapnya.
Secara tegas Petrus menjelaskan, kasus nepotisme yang dilakukan Ketua MK Anwar Usman disebut sebagai mega skandal yang menimpa MK saat ini. Oleh karena itu proses persidangan yang dilakukan MKMK harusnya jadi momentum perbaikan penegakan hukum.
“Terutama apa yang terjadi saat ini di MK karena faktor nepotisme telah merusak sendi-sendi penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan adil sesuai dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini tidak sekedar melanggar Etika tetapi juga melanggar pasal 24 UUD 1945,” ungkapnya.
Ketua Majelis MKMK Jimly Asshiddiqie, kata Petrus, harus bisa menjaga dan mengembalikan asas kekuasan kehakiman yang merdeka dan asas kemandirian MK dan MKMK, agar memulihkan kepercayaan publik yang sudah berada di titik nadir melihat ulah sebagian hakim konstitusi, yang mengorbankan marwah, martabat dan keluhuran hakim konstitusi dan menjadikan dirinya dan institusi MK sebagai alat politik.
“Ketua MKMK, tidak boleh terpengaruh dengan jadwal dan tahapan pemilu di KPU, karena kondisi MK kini membutuhkan kesabaran semua pihak dengan segala konsekuensi termasuk menunda satu tahapan proses pemilu, demi menghormati proses hukum di MKMK yang kelak akan menentukan jadwal untuk membuka kembali persidangan Perkara No.90/PUU-XXI/2023 dengan Majelis Hakim Konstitusi yang baru minus Anwar Usman. Alasannya, karena secara hukum putusan MK dimaksud telah kehilangan sifat final dan mengikat, karena perintah undang-undang bukan karena putusan MKMK Prof. Jimly Asshiddiqie,” ujarnya.
“Putusan MKMK hanya memenuhi perintah pasal 17 ayat (6) UU No. 48 Tahun 2009, Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan Hakim yang melanggar ketentuan pasal 17 ayat (5), putusannya tidak sah dan kepada hakim ybs. diberikan sanksi administratif dan sanksi pidana. Sanksi administratif inilah yang saat ini diproses oleh MKMK,” sambungnya.
Petrus melanjutkan, oleh karena itu maka tahap putusan hakim konstitusi untuk perkara No.90/PUU-XXI/2023, serta merta tidak sah, sudah terjadi sejak diucapkan tanggal 16 Oktober 2023, sekaligus menegasikan sifat final dan mengikat terhadap putusan perkara No.90/PUU-XXI/ 2023, dan menggurkan hak Gibran Rakabuming Raka. Namun demikian pasal 17 ayat (7) UU No. 48 Tahun 2009, memberikan jalan keluar yaitu membentuk Majelis Hakim yang baru, menyidangkan kembali perkara No. 90/PUU-XXI/ 2023, tanpa nepotisme.
“Dengan posisi demikian berarti keberadaan Gibran Rakabuming Raka harua dipastikan tidak bisa menjadi calon Wakil Presiden, karenanya KPU harus mengembalikan berkas pendaftaran Capres-Cawapres Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka kepada Partai Koalisi untuk mengganti Cawapres dan mendaftar ulang. Inilah hukum yang benar secara prosedural, substantif dan esensial,” ungkapnya.
“Terhadap Hakim Konstitusi Anwar Usman sebagai Hakim Terlapor, Para Pelapor menuntut agar diberikan sanksi berat berupa “Pemberhentian tidak dengam hormat”, demi melepaskan MK dari ketergantungannya kepada Nepotisme yang dirancang untuk membangun dinasti politik,” sambungnya.