Jakarta – Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP BRIN) Siti Zuhro mengatakan demokrasi Indonesia semakin mundur kala putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi soal syarat batas usia capres-cawapres.
Siti menilai, putusan tersebut menjauhkan upaya bangsa Indonesia mencapai tahap konsolidasi demokrasi yang terus dibangun sejak Reformasi 1998.
“Di tengah tren kemunduran demokrasi Indonesia, putusan MK ini justru semakin menjauhkan upaya kolektif bangsa untuk menuju konsolidasi demokrasi,” kata Siti Zuhro, Kamis (26/10).
Menurut Siti, putusan MK itu semakin menunjukan adanya tendensi untuk menerapkan dinasti politik dalam kerangka demokrasi prosedural.
Sebagainana diketahui, dalam putusan itu MK mengubah ketentuan batasan usia capres dan cawapres yang semula diatur “berusia paling rendah 40 tahun”, menjadi “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.”
Akibatnya, kata Siti, putusan MK itu membuat integritas penyelenggaraan pemilu menjadi dipertanyakan.
Sebab menurut dia, akibat putusan MK itu mengakibatkan pemilu yang seharusnya dilakukan secara jujur dan adil justru menjadi ajang kontestasi yang tidak sehat dan cenderung menghalalkan segala cara untuk memperoleh kemenangan.
Siti mengatakan, putusan itu bertentangan dengan konstitusi, yakni Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi “segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Siti menambahkan, putusan MK itu juga tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 28 D ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi, “setiap warga negara berhak memperolah kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”
Siti mengatakan, aturan batasan usia capres atau cawapres sesungguhnya merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy), sama halnya dengan sistem pemilu yang sudah diputuskan oleh MK dalam putusan terdahulu.
Akan tetapi, kata Siti, yang menjadi persoalan adalah MK memutuskan syarat usia capres dan cawapres bukan merupakan open legal policy, sehingga mereka merasa berhak memeriksa dan memutus perkara tersebut.
Sebagai ketentuan yang bersifat open legal policy, Siti menilai semestinya aturan batasan usia capres dan cawapres dibuat oleh pembuat undang-undang, yaitu DPR bersama-sama dengan presiden).
Hal itu wajib melalui proses pembuatan legislasi yang berlaku, secara saksama, penuh dengan pertimbangan dari segala aspek, terbuka, transparan, akuntabel, inklusif dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna.
Siti mengatakan, secara substansi, penambahan frasa “…atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” dapat memberikan kesempatan pada kelompok muda.
Akan tetapi, lanjut Siti, penambahan frasa itu menjadi problematik karena permohonan ini diajukan pada masa menjelang (injury time) menjelang pencalonan capres dan cawapres pemilu 2024. “Terlebih lagi, putusan MK ini dikeluarkan 3 (tiga) hari sebelum jadwal pendaftaran capres dan cawapres 2024.
“Jelas, putusan MK ini digulirkan serba terburu-buru, mengejar waktu sebelum tahapan pencalonan presiden dan wakil presiden dimulai,” ujar Siti.
“Selain itu, hal ini mengindikasikan kepentingan politik pragmatis syahwat kekuasaan dalam keputusan yang diambil oleh MK,” sambung Siti.