Jakarta – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat mencalonkan diri sebagai calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) disebut bermuatan politik dan syarat dengan konflik kepentingan.
Putusan MK tersebut dinilai telah mencederai konstitusi. Apalagi, tidak semua majelis sepemikiran dalam pertimbangannya. Terlebih dengan adanya disenting opinion salah satu hakim MK, Saldi Isra, yang merasa heran dengan adanya keanehan perubahan putusan itu dalam waktu singkat.
MK diyakini telah mempermainkan harapan rakyat. Sebab, putusan gugatan serupa yang digelar pagi dinilai mendengarkan aspirasi rakyat, namun, berbeda di sore hari.
Julukan Mahkamah Konstitusi sebagai Mahkamah Keluarga pun muncul di publik karena terdapat hubungan keluarga sedarah atau semenda antara Ketua MK Anwar Usman dan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Publik meyakini maksud dalam putusan tersebut adalah untuk menjadikan putra sulung Jokowi yang juga Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi calon wakil presiden.
Belajar dari Sosok Megawati Soekarnoputri
Presiden Jokowi nampaknya harus berguru lagi kepada seniornya yang juga Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Terhitung sudah tiga kali pemilu, Megawati tak memaksakan trah Soekarno maju kandidasi Pilpres.
Megawati lebih memilih kader-kader partainya yang potensial dan sehati dengan rakyat seperti Jokowi untuk berjuang bersama mewujudkan cita-cita Bangsa yang berdaulat, adil dan makmur.
Insting Megawati selalu tepat. Bagaimana tidak, Jokowi dalam lima kali berturut-turut memenangkan kontestasi pemilihan umum mulai dari wali kota Surakarta dua periode, Gubernur DKI Jakarta satu periode hingga presiden dua periode.
Jokowi yang dahulu tidak banyak dilirik oleh partai politik untuk maju dalam kontestasi pemilu itu kini telah menjadi penguasa negeri berkat tempaan Megawati Soekarnoputri.
Lagi-lagi, Megawati tidak mau memaksakan trah Soekarno untuk berkuasa jika rakyat tidak berkehendak. Megawati kali ini lebih memilih Ganjar Pranowo bersama Mahfud MD untuk bertarung di Pilpres 2024. Padahal, dia bisa saja menunjuk anaknya Mohammad Rizki Pratama atau akrab disapa Tatam, Prananda Prabowo atau Nanan hingga Puan Maharani.
“Politisi paling senior saat ini, Bu Megawati Soekarnoputri memiliki keunikan tersendiri yakni tidak memaksakan putra-putrinya di posisi atau jabatan tertinggi. Ketika Puan tidak meneruskan langkah politiknya untuk pencapresan, Bu Megawati tidak memaksakan diri untuk ‘cawe-cawe’ dan dirinya memberikan kursi itu untuk Ganjar Pranowo,” ujar pakar politik Ari Junaedi, Kamis (19/10).
Padahal, trah Soekarno justru berperan penting dalam lobi-lobi di panggung belakang. Misalnya, Puan Maharani, Ketua DPR sekaligus Ketua DPP PDI-P yang belakangan bolak-balik menjadi jembatan bagi PDIP untuk berkonsolidasi dengan partai-partai lain.
Meski sejak lama Puan menjadi calon kuat capres PDIP dan mendapat dukungan dari semua kader partai banteng, namun Megawati tidak menjatuhkan pilihan kepada Puan. Sejumlah jabatan mentereng juga disandang Puan, antara lain Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Ketua DPR RI perempuan pertama hingga ketua DPP PDIP.
Sementara itu, anak Megawati yang lain yang juga aktif di PDIP, Prananda Prabowo atau Nanan juga tak dpilih Megawati. Nanan adalah otak di balik mesin pemenangan Ganjar yang disiapkan Megawati. Nanan memegang kendali situation room PDIP untuk memantau dinamika politik terkini.
Ari yang juga CEO Nusakom Pratama ini juga menyoroti putra pertama Megawati yang bernama Mohammad Rizki Pratama atau Tatam. Pada anak pertamanya, menurut Ari, Megawati tidak memaksakan menjadi ketua umum partai, walikota apalagi cawapres mengingat keinginan putranya tidak di politik
“Hanya kepada dua anaknya dilibatkan di struktur DPP dan itu pun Prananda Prabowo tidak maju di Pemilu Legislatif,” tutur Ari.
Melihat hal ini, Ari berpandangan bahwa Megawati telah memberikan warisan demokrasi yang luar biasa. Selain itu, Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) ini dianggap memberikan panutan soal kekuasaan.
“Dia (Megawati) tidak mengatur kehidupan dan jalan politik anak-anaknya,” sebut Ari.
Menurut Ari, Megawati memiliki alasan tersendiri mengapa memberlakukan cara berpolitik yang demikian. Kata Ari, Megawati sepertinya tidak ingin PDIP dianggap seolah kaca buram tentang kaderisasi.
“Dia tidak ‘mentang-mentang’ dan aji mumpung, tetapi ikut memberi jalan lahirnya pemimpin muda,” tuturnya.
Ari melanjutkan, di PDIP, proses pematangan politik pun pada akhirnya ditempa lewat Pilkada dan Pileg. Proses penempaan ini melahirkan sosok pemimpin di antaranya Joko Widodo, Azwar Anas, Tri Rismaharini, Mochamad Nur Arifin hingga Hasto Wardoyo.
“Megawati begitu konsisten antara ucapan dan tindakan begitu selaras. Dia tidak plonga-plongo atau belak belok. Hanya sedikit ketua umum partai seperti Megawati yang mempunyai kenegarawanan level A,” nilai Ari.
Dalam kesempatan deklarasi Mahfud MD sebagai bakal calon wakil presiden pendamping Ganjar Pranowo Rabu (18/10) kemarin, Megawati mengingatkan kepada kita semua bahwa sosok pemimpin tak lahir begitu saja dan meraih pucuk pimpinan tertinggi. Dia harus lahir dari tempaan perjuangan dan kesetiaan.
“Dari sejarah, kita belajar bahwa pemimpin harus lahir dari gemblengan lahir batin. Pemimpin seperti ini ditempa keteguhannya, memiliki kesetiaan pada prinsip. Kokoh pada jalan Pancasila, merakyat, visioner dan memiliki kemampuan profesional, setidaknya telah berprestasi dalam jabatan strategis di tingkat nasional, dan memiliki pengalaman konkret di pemerintahan,” tegas Megawati.
Pesan Megawati tersebut sepertinya isyarat kepada Jokowi agar tidak menggunakan kekuasaan untuk membangun dinasti politik. Berpolitik itu butuh ilmu, ditempa, agar bisa menjadi pemimpin yang kuat untuk melayani rakyatnya.