Jakarta – Saya pernah mengunjungi Pyongyang, Korea Utara dalam dua kali kesempatan. Wajah Ibukotanya begitu lusuh sementara wajah para warganya begitu muram. Setiap pagi, mobil Gaz tua – langsiran Uni Sovyet – berkeliling kota mengndoktrinasi warga untuk selalu ingat dengan “Presiden Abadi” Kim Ill Sung.
Kim Ill Sung sendiri adalah presiden pertama Korea Utara, penggantinya adalah putra kandungnya yang bernama Kim Jong Ill. Sementara presiden sekarang, Kim Jong Un adalah cucu Kim Ill Sung dan anak kandung dari Kim Jong Ill.
Konon Presiden Korea Utara mendatang adalah Kim Jung Ae, putri Kim Jong Un yang masih pantas menjadi kakak Jan Ethes karena umurnya masih belia.
Menyaksikan “drama” persidangan uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK) tidak ubahnya menyaksikan dagelan paling lucu. Melebihi kadar kelucuan kelompok pengocok perut yang bernama Wakop DKI atau Sri Mulat.
Betapa tidak, semua instrumen hukum “yang tidak mungkin” bisa menjadi “mungkin” dan finalnya terjadinya permainan kasar dan kasat mata seperti dugaan salah satu Hakim MK, Saldi Isra adanya cawe-cawe ipar Presiden Jokowi dalam proses putusan MK yang memalukan.
Sekali lagi, siapa saja bisa menjadi presiden di negeri ini. Entah anak tukang ojek online, putri petani miskin atau anaknya nelayan melarat. Bisa pula yang menjadi presiden adalah anak presiden, menantu presiden, cucu presiden, istri presiden atau ipar presiden sekalipun.
Menjadi pemimpin itu mulia karena di pundaknya bersandar nasib 270 juta lebih rakyat termasuk diantaranya 25,9 juta warga miskin. Menjadi “tidak mulia” jika proses jalan menuju calon tidak elok dan sangat megindahkan etika.
Ketika palu hakim patah menghadapi arogansi politik, di saat itu pulalah hukum membungkuk kepada kekuasaan.
Sekali lagi Indonesia bukan Korea Utara karena negeri ini didirikan atas jasa perjuangan para pahlawan yang rela berkalang tanah dan ingin membebaskan bangsanya dari jerat penjajahan. Tidak terbersit sedikit pun para pahlawan memiliki pikiran picisan untuk mempersiapkan anak, menantu dan cucunya menjadi presiden.