Jakarta – Pakar komunikasi politik yang juga CEO Nusakom Pratama Ari Junaedi mengkritik keras putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat pendaftaran capres-cawapres berusia minimal 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Menurut Ari, keputusan MK tersebut menciderai demokrasi. Bagaimana tidak, kekuasaan yang sejatinya diperuntukan untuk kepentingan rakyat justru dirampas oleh penguasa itu sendiri.
“Berbeda dengan Pilpres-pilpres sebelumnya, kemarin kita diperlihatkan terjadinya pembegalan hukum untuk kepentingan politik, politik yang mengabaikan etika dan tata krama. Kami sebagai warga negara tidak melihat adanya contoh bagus penegakan demokrasi,” kata Ari dalam talk show RRI Pro 3, Selasa (17/10).
Ari menilai, putusan MK tersebut memang sudah diagendakan sejak awal untuk mendukung salah satu pasangan calon. Bahkan usai putusan MK tersebut dikabulkan, Ketum Gerindra Prabowo langsung mengumpulkan petinggi partainya untuk membuka peluang bagi Wali Kota Surakarta Gibran Rakbuming Raka yang juga anak dari Presiden Joko Widodo itu untuk menjadi cawapres pendampingnya.
“Saya berharap perjuangan reformasi bisa terus berlanjut, kemarin kita melihat palu hakim dapat dipatahkan oleh kekuasaan, ketika hukum tidak lagi membungkuk, sekarang palu hakim pun patah. kita lihat juga bagaimana kekuasaan merendahkan hukum. Harapan ke depan lahir pemimpin yang terlahir dari rakyat kecil, tahu betul keluhan rakyat,” ungkapnya.
Ari menegaskan, Pilpres yang sejatinya untuk mencari pemimpin yang mengayomi justru melahirkan nokta hitam demokrasi akibat putusan MK tersebut.
“Maka Indonesia tak lagi punya mimpi bahwa anak buruh, petani, nelayan, sopir ojol dan warga biasa lainnya bisa jadi presiden sebagaimana Jokowi dulu. Kemaren muncul dagelan politik di MK, demo turun ke jalan. Biarkan rakyat yang jadi pengadil,” tegasnya.
Pengajar diberbagai kampus ini berpendapat, saat ini masyarakat sudah melek politik dan akses informasi jauh lebih terbuka dijagat maya. Masyarakat pun bisa menilai sendiri putusan MK tersebut.
“Iya literasi bisa didapat dari berbagai platform, yang jelas masyarakat semakin pandai dalam memilih pemimpin. Tidak harus turun ke got atau bagi-bagi sepeda. Data BPS menyebut ada 25,9 juta rakyat miskin, ini jadi tantangan terbesar pemimpin kita ke depan,” ungkapnya.