Jakarta – Live talk show di salah satu televisi swasta itu berjalan menarik. Terutama jelang mendekatnya Keputusan MK Uji Materi Undang-undang (UU) Nomor 7 tahun 2017 tentang Syarat Usia Capres/Cawapres.
Dikabarkan, Mahkamah Konstitusi (MK) bakal menggelar sidang putusan uji materi atas pasal dalam UU Pemilu yang mengatur tentang batas usia minimal capres-cawapres pada Senin, 16 Oktober mendatang atau 3 hari sebelum pembukaan pendaftaran capres-cawapres ke KPU.
Jika benar syarat pencalonan capres-cawapres sesuai Pasal 169 huruf 1 akan diubah dari 40 tahun menjadi 35 tahun atau pernah menjadi kepala daerah, serta langsung diberlakukan pada Pemilu 2024, konstelasi politik akan goyang. Tudingan bahwa gugatan itu diarahkan sebagai karpet merah bagi Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming sulit terelakkan.
Politisi PDI Perjuangan Aria Bima menyatakan, sebenarnya proses seperti ini adalah hal biasa dalam demokrasi pilpres, pileg, pilkada, yakni selalu terjadi adanya upaya saling membajak kader lain
“Tapi kami percaya, Mas Gibran dan Pak Jokowi sudah semakin matang dan dewasa, sangat paham betul pada dinamika yang terjadi saat ini. Kami percaya, Mas Wali akan mengambil sikap sesuai pilihan sendiri, seperti saat ia mengambil jalan kepartaian saat mau ikut Pilkada 2020, meski ia bisa saja memilih jalur independent,” ungkapnya.
Sampai saat ini PDI Perjuangan masih yakin Gibran loyal pada PDI Perjuangan, dan tak menerima tawaran sebagai cawapres Prabowo Subianto, jika gugatan MK soal batas usia capres itu dikabulkan.
“PDI Perjuangan mempunyai cara dan mekanisme terkait pendisiplinan kader partai. Sampai hari ini kami melihat Gibran memulai karirnya dengan mengambil jalan pilihan melalui partai politik, jadi kami melihat Mas Wali akan loyal kepada partai,” tegas anggota legislatif dapil Solo Raya itu.
Sementara itu, dalam keterangan resminya Wakil Sekretaris Jenderal DPP PKS Zainuddin Paru mengingatkan Mahkamah Konstitusi (MK) tak berwenang untuk mengubah aturan terkait batas usia capres-cawapres dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Baginya, kewenangan untuk mengubah batas usia capres merupakan wewenang DPR lantaran kebijakan hukum terbuka atau open legal policy.
“Batas usia capres/cawapres pada prinsipnya adalah open pegal policy, yang menjadi kewenangan pembuat Undang-Undang (DPR). Bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi,” kata Zainuddin.
Zainuddin menegaskan sosok capres atau cawapres bukan dilihat semata-mata soal usia maupun kepentingan pribadi, dinasti, oligarki ataupun relawan. Baginya, capres dan cawapres yang maju Pilpres harus memiliki kepatutan dan kepentingan bangsa yang lebih besar.
“Semua percaya bahwa Mahkamah Konstitusi tetap menjaga muruah dan melaksanakan kewenangan yang ditentukan ditentukan oleh aturan yang ada,” kata dia.
Pada soal yang sama, Pengamat Politik Airlangga Pribadi Kusman mengingatkan Mahkamah Konstitusi (MK) agar berhati-hati saat memutus perkara gugatan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) menjelang Pemilu 2024.
“Hendaknya MK bersikap hati-hati dan bijaksana dalam mengambil keputusan berhubungan dengan hal tersebut,” ujar Airlangga, Rabu (11/10).
Pengamat dari Universitas Airlangga (Unair) ini menjelaskan tidak dapat dipungkiri jika gugatan batas usia capres-cawapres dihubungkan dengan kepentingan politik. Salah satunya terkait sosok Wali Kota Solo Gibran Rakabuming yang disebut akan menjadi bakal cawapres pada Pilpres 2024. “Semoga MK dapat mempertimbangkan posisinya sebagai guardian of constitution atau pelindung utama konstitusi. Oleh karena itu, ia mengingatkan MK agar mengambil keputusan harus bebas dari kepentingan politik,” kata Angga panggilannya.
Meminjam istilah pakar komunikasi politik Ari Junaedi, Mahkamah Konstitusi bukanlah lembaga pewaris kekuasaan.
“Sedari awal, Mahkamah Konstitusi (MK) dibentuk sebagai penjaga marwah keadilan. Dia menjadi garda terakhir untuk menguji konstitusi apakah berseberangan dengan hak asasi manusia atau tidak,” tukasnya.
Mahkamah Konstitusi begitu suci sehingga harus diisi oleh hakim-hakim yang independen dan tidak berpihak. Proses rekrutmen hakim di MK harus akuntabel dan kredibel. Bukan karena berkelindan dengan rezim, seorang hakim bisa seenaknya sendiri “mengarahkan” putusan MK.
Mari kita nantikan keputusan MK pekan depan. Semoga masih banyak yang berpikir waras di negeri ini…