Jakarta – Sedari awal, Mahkamah Konstitusi (MK) dibentuk sebagai penjaga marwah keadilan. Dia menjadi garda terakhir untuk menguji konstitusi apakah berseberangan dengan hak asasi manusia atau tidak.
Dia begitu suci sehingga harus diisi oleh hakim-hakim yang independen dan tidak berpihak. Proses rekrutmen hakim di MK harus akuntabel dan kredibel. Bukan karena berkelindan dengan rezim, seorang hakim bisa seenaknya sendiri “mengarahkan” putusan MK.
Beberapa bulan terakhir ini kita menyaksikan “akrobat” dan “manuver” yang terjadi di MK. Gelombang demi gelombang uji materi terhadap satu obyek yang sama : Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Mengapa pasal yang sudah jelas-jelas memberi makna kebijakan hukum terbuka atau open legal policy dicoba uji materi oleh segelintir pihak yang ingin melanggengkan hajat kekuasaan Presiden Joko Widodo?
Jelas uji materi tersebut “beraroma” memberi jalan putra Sang Presiden yakni Walikota Solo, Gibran Rakabuming untuk menjadi Cawapres mendampingi Prabowo Subianto dari Koalisi Indonesia Maju. Persyaratan yang ingin diuji materi tersebut ; batas usia Capres/Cawapres berusia 40 atau pernah menjabat sebagain gubernur/bupati/walikota.
Rapat Permusyawaratan Hakim MK kerap berjalan “buntu” dan mendapat intervensi dari Sang Ketua (menurut pemberitaan sebuah majalah berita mingguan) dan semuanya diarahkan untuk meloloskan uji materi tersebut.
Jika hal itu terjadi, kita semuanya sedang mengalami “darurat” keadilan. Perjuangan berdarah-darah untuk memperjuangkan reformasi di tahun 1998 kini telah dibajak oleh perusak bangsa.
Lihatlah semua skenario pelanggengan kekuasaan sedang berjalan sesuai script Sang Sutradara. Dalang menghadiri hajatan relawan. Relawan berbondong-bondong mendatangi seorang Capres dan menyatakan dukungannya asal menjadikan “anak muda” sebagai Cawapres.
Pimpinan cabang partai dari Sang Capres mulai resmi merekomendasikan “anak muda” itu menjadi Cawapres. Seorang menteri yang asalnya dari relawan, tiba-tiba mengumumkan akan menggelar deklrasi dukungan pada tanggal 14 Oktober 2023 nanti.
Arah dukungannya dijadikan misteri, yang jelas berinisial “P”. Apakah skenario akan terus berlanjut ? Saksikan saja ulah elit-elit negeri ini memainkan segala instrumen kekuasaannya.
Di saat rakyat tercekik dengan mahalnya harga beras yang melambung. Harga bahan bakar minyak merangkak naik. Polusi udara kian mengkhawatirkan serta kekeringan yang terus melanda.
Mereka abai di saat menteri-menterinya berpesta pora menyantap uang rakyat. Kini tinggal rakyat yang menyesali pilihannya dulu di dua kali Pilpres……