Jakarta – Ekonom senior, Faisal Basri, membantah anggapan mati surinya industri keramik lokal karena banjir produk impor dari China. Alih-alih menuding pihak luar, ia menganggap permasalahan internal di Indonesia sebagai biang keroknya. Salah satunya karena Indonesia tidak melakukan transformasi produk. Produsen dalam negeri masih berkecimpung dengan produksi keramik merah yang relatif mudah rusak. Sementara, pasar membutuhkan keramik jenis porselen yang lebih mahal, tetapi kualitasnya bagus.
“Industri keramik Indonesia itu terlalu lama berkecimpung di keramik merah,” katanya dalam diskusi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) bertajuk “Dampak Penerapan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) Keramik”, di Jakarta.
Permasalahan serupa juga terjadi pada industri tekstil. Pada masanya, industri tekstil Indonesia pernah berjaya dan menghasilkan produk berkualitas, bahkan memproduksi mesin tekstil. Namun karena banyak pabrik tidak melakukan revitalisasi teknologi, produk tekstil Indonesia kalah bersaing dengan negara lain.
“Yang lambat transformasinya, seperti dalam industri tekstil. Dulu kan keren, Bangladesh dan Vietnam dulu belum ada apa-apanya. Tapi kita gagal bertransformasi,” ungkapnya.
Menurut Faisal, seharusnya pemerintah fokus menyelesaikan masalah-masalah internal itu. Bukan malah menuding China yang telah membanjiri pasa Indonesia dengan keramik impor.
“Ada masalah dalam internal industri kita. Jangan menyalahkan pihak lain,” tandasnya.
Beberapa waktu lalu, pemerintah Indonesia mewacanakan pengenaan bea masuk tinggi terhadap produk keramik asal China. Ini karena banyaknya keramik asal China yang membanjiri pasar dalam negeri, dan membuat industri keramik local bertumbangan.