Ini adalah Starbucks keren di tengah kota Jakarta. Pelayannya dari komunitas tuli. Mereka memang tak bisa mendengar dengan baik, tapi pelayanannya sungguh terlalu baik.
Jakarta – Tak sengaja menentukan tempat ngopi di sini. Awalnya, yang penting cari lokasi temu di dekat MRT Dukuh Atas. Mana sajalah. Ternyata ketika kafe lain di kawasan ’Citayam Fashion Week’ ini sudah tutup, maka sahabat saya Dyka pun mengarahkan janji temu di Starbucks Dukuh Atas.
Nama tepatnya, sebagaimana juga sudah tercantum di peta Google Maps dan aplikasi gojek: Starbucks Tata Puri, karena ada di lokasi perkantoran Gedung Tata Puri, Jalan Tanjung Karang, Kebon Melati, Jakarta Pusat.Awalnya bingung, mencari-cari pintu masuknya. Tapi saat masuk ke lokasi, diarahkan oleh resepsionis gedung dengan ramah, nampak istimewanya.
Di reels Instagram dijelaskan bahwa Starbucks ini menjadi ‘Signature Store’ pertama dengan kelebihan pelayannya dari kalangan disabilitas tuli. Store ini menjadi konsep terbaru dari Starbucks dalam pemberdayaan disabilitas tunarungu, bahkan barista dari store ini merupakan teman-teman tuli. Sebelum di Indonesia, Starbucks Signing Stores serupa sudah dibuka di Malaysia, AS, Hong Kong, dan Jepang.
Perbedaan store ini dengan store yang lainnya adalah bagaimana cara memesan dan servis yang dilakukan. Indra dan Wenny melayani saya dengan Bahasa Isyarat. Sambil menunjukkan daftar menu. Untuk mempermudah, mereka menyiapkan semacam papan tulis kecil sehingga saya bisa menulis pesanan di situ. Selain dengan menunjuknya di daftar menu tadi.
Clear. Tak ada masalah dalam pemesanan makanan dan kopi di sini. Bahkan, saat saya membawa keripik ubi dan spicy tuna bread ke tempat duduk, saya berpikir nantilah saya ambil Caffe Latte Grande. Toh masih dalam proses pembuatan dan dalam proses antrean beda satu pemesan. Saya pegang nomor antrean 78, sementara yang dibikin baru nomor 77.
Tak disangka, pelayan tuna rungu tadi, Indra, datang ke meja saya dengan membawa mug berisi Caffe Latte Grande pesanan itu. Tentu, ia nampak mencari-cari, karena saya duduk di sudut luar kafe. Nyempil.
“Satu kata, respect. Pertama, untuk baristanya, mereka adalah orang-orang hebat yang telah berhasil mengalahkan dirinya sendiri. Mereka mampu survive di tengah keterbatasan fisik yang mereka miliki, mereka tak punya rasa minder tapi justru mereka punya rasa bangga karena bisa bekerja tanpa diskriminasi dan keberadaan mereka diakui,” kata Andyka Pratiwi, sahabat saya yang tak sengaja menemukan tempat ini tadi.
Mahasiswi Program Magister Ilmu Komunikasi sebuah kampus di Jakarta Selatan ini terkesan, sejujurnya, ia malah jadi iri dengan para pelayan Starbucks Tata Puri.
“Mereka bisa meracik kopi dengan sempurna sesuai standar Starbucks, sedangkan saya membuat segelas kopi hitam saja masih sering gagal, hehe…,” ungkapnya.
Dyka mengingat ketika menunggu kopi jadi, ia melihat barista perempuan yang tampak kedinginan. Kemudian, Dyja bertanya dengan lafal dan intonasi yang lebih lambat, ”Dingin?”
Barista dari komunitas tuli itu menjawab dengan bergidik, mengekspresikan dingin, dan tak lupa disertai senyuman manisnya.
“Saat memesan kopi juga berjalan lancar, pesanan kopi saya persis seperti yang saya inginkan bahkan dia tidak salah menulis nama saya. Saya bahkan sempat mengajak tos saat selesai membayar,” kenangnya.
Dyka pun memberi apresiasi khusus untuk Starbucks yang memiliki inisiatif atau komitmen untuk memberikan kesempatan bagi kaum disabilitas bermitra dengan mereka. Menurutnya, Starbucks Tata Puri menjadi contoh konkret bahwa bekerja itu menjunjung tinggi kemampuan dan profesionalisme, yang tidak tergantung pada keterbatasan fisik.
”Semoga hal yang dilakukan Starbucks dapat diikuti juga oleh brand lainnya,” tukasnya.
Pada akhirnya, lanjut Dyka, meneguk secangkir kopi bukan hanya tentang rasa kopi yang terhirup dan terkecap melalui panca indra dan berhasil melewati kerongkongan.
”Di balik seteguk kopi menyimpan rasa lebih dari itu, rasa sosial, rasa peka, rasa saling mengasihi, dan rasa kesetaraan,” pungkasnya.
Kawan saya yang lain, Rediston Sirait, seorang pengacara muda dan aktivis organisasi asal Kepulauan Riau berpendapat serupa. Menurut Diston, langkah Starbucks memberikan kesempatan kerja khusus bagi kawan-kawan diasibilitas sangat terpuji.
“Saya pikir ini langkah yang baik. Memberikan ruang ke kaum berkebutuhan kusus. Sebagai pembeli, saya juga tak ada kendala untuk pesan karena sudah dibantu alat modern seperti ipad dan daftar menu yang tersedia,” papar pria yang banyak bergerak di isu-isu kepemiluan ini.
Awesome. Sungguh senang melihat kafe -dan juga ada pusat perbelanjaan- mengalokasikan perekrutan karyawan pada kaum disabilitas seperti ini.