Dua puluh tahun berlalu, para aktivis yang masih nampak muda ini mengenang kerasnya masa reformasi. Terutama masa-masa penggulingan rezim Orde Baru pimpinan Soeharto. Di situ terjadu aksi penculikan, penyiksaan, dan penghilangan paksa, termasuk belasan orang yang tak jelas nasibnya hingga saat ini.
Jakarta – Dalam kaitan mengenang perjuangan itu, Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) meluncurkan film dokumenter ’Yang Tak Pernah Hilang’. Film ini perlu proses pengerjaan hampir lima tahun oleh komunitas yang menamakan diri ‘Kawan Herman-Bimo’.
Film berdurasi sekitar dua jam itu bercerita tentang dua mahasiswa Universitas Airlangga yaitu Herman Hendrawan dan Bima Petrus (Bimpet). Dari kehidupan masa kecilnya hingga jadi korban penghilangan paksa sebagai aktivis 1998.
”Lingkungan telah membentuk keduanya sebagai manusia relijius, kritis, humanis dan anti segala bentuk penindasan. Nilai-nilai tersebut cocok dengan gagasan gerakan demokrasi,” ungkap Nia Damayanti, salah seorang penggagas pemutaran film ini di Jakarta.
Produser Film yang juga Ketua IKOHI Jawa Timur, Dandik Katjasungkana mengatakan, pembuatan film tersebut merupakan upaya mendorong pemerintah dan elit politik menyelesaikan kasus penghilangan paksa 98 ini.
“Film ini sebagai upaya menghidupkan kembali ingatan tentang kawan yang hilang dan tidak adanya upaya untuk mengungkap keberadaan mereka hingga kini,” kata Dandik. Ia menyatakannya dalam konferensi pers di kantor Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Kwitang, Jakarta Pusat, sehari sebelum pemutaran film
Judul ‘Yang Tak Pernah Hilang’ karena meskipun banyak pihak menyatakan kedua aktivis tersebut hilang, namun perjuangannya menegakkan demokrasi di Indonesia masih berjalan hingga saat ini.
Film ‘Yang Tak Pernah Hilang’ pertama kali meluncurdi Surabaya pada Maret 2024. Utomo Rahardjo, ayah dari Bimo Petrus, menyambut penuh haru kehadiran film ini. “Seperti energi baru untuk berjuang bagi anak saya yang masih hilang. Upaya mengingat Bimo dan Herman melalui film ini menjadi kekuatan tersendiri bagi saya,” kata Utomo, kini 79 tahun, yang khusus dari Malang ke Jakarta menumpang kereta api demi event ini.
Sementara itu, keluarga Herman Hendrawan di Pangkal Pinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, menyebut film ini membuat sosok Herman seolah selalu hidup.
Hera Haslinda, kakak Herman menyatakan, “Film ini menegaskan bahwa Herman tidak pernah hilang dari ingatan dan hati semua orang terdekatnya. Meski secara fisik Herman tidak berada bersama kami.”
Hera, kakak Herman meminta kesungguhan pemerintah untuk menuntaskan kasus penghilangan paksa 13 orang mahasiswa era 1997-1998.
“Untuk pemerintah, minta tolong diselesaikan, dituntaskan masalah ini supaya terungkap. Kalau memang tahu makam, kuburannya, ya diberi tahu agar kami bisa ke sana, ziarah. Kalau memang tidak ketemu, pemerintah memberikan statement,” ujar Hera.
Sementara itu, Utomo Raharjo juga telah lebih dari 26 tahun berjuang untuk mendapatkan kepastian anaknya. Dia mengungkapkan kegelisahannya bahwa mereka tidak mengetahui keberadaan keluarganya yang menjadi korban.
“Jadi, yang utama kami ingin agar pemerintah mencari keberadaan para aktivis tersebut,” kata Utomo.
IKOHI berharap agar film ini menjadi pemicu sehingga pemerintah menuntaskan kasus penghilangan paksa aktivis 1997/1998, serta mendorong masyarakat agar terus berjuang #MelawanLupa atas semua kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu.
Meski sudah lewat seperempat abad, semangat mencari keadilan itu tak pernah pudar. Baik di lobby gedung bioskop maupun dalam teater, kawan-kawan korban penculikan dan penghilangan paksa ini kompak berteriak saling sahut, sembari mengacungkan poster film bersama-sama, ”Kembalikan Kawan Kami!”