Jakarta – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata, mengungkapkan digitalisasi tidak membuat praktik korupsi berkurang. Proses pengadana barang dan jasa melalui e-katalog kini menjadi lahan subur baru bagi para koruptor. Salah satu modus yang marak digunakan adalah pembelian ecara berulang dari vendor yang sama.
“Dulu ada e-procurement. Jadi semua dokumen harus di-upload melalui komputer. Tapi yang terjadi ternyata sistem tersebut juga bisa diakali. Para vendor membuat kesepakatan di luar, mengatur harga, dan mengatur siapa yang menang,” kata Alex dalam seminar bertajuk Mitigasi Permasalahan Hukum dan Audit Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, di Gedung SMESCO Indonesia, Jakarta.
Selain itu, ada juga modus dengan me-mark up harga tidak lama setelah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) meng-upload. Sebelumnya pasti ada kesepakatan antara PPK dan vendor, kapan barang akan di-upload di e-Katalog,” imbuhnya.
Oleh karena pelaku tindak pidana korupsi menggunakan metode baru, cara penanganannya pun harus diperbarui. Salah satunya dengan meminta Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) memberikan akses terhadap data pengadaan barang dan jasa melalui katalog elektronik. Kemudian juga harus memberi pedoman pengawasan untuk pengadaan dengan menggunakan katalog elektronik.
Kerugian yang ditimbulkan dari korupsi pengadaan barang dan jasa sangat besar. Berdasarkan data KPK periode 2004-2023, kasus korupsi di pengadaan barang dan jasa mencapai 339 kasus. Jumlah ini menjadikannya sebagai kasus terbesar kedua di bawah gratifikasi dan penyuapan. KPK memasukkan sektor ini ke 8 fokus area dalam Monitoring Centre for Prevention (MCP) dalam mengintervensi perbaikan tata kelola pemerintah daerah.