Sulawesi Barat – Beberapa waktu lalu saya berkunjung ke Kebupaten Muna Barat (Mubar), Sulawesi Utara. Perjalanan ke sini saya mulai dengan menggunakan kapal dari Pelabuhan Kendari ke Pelabuhan Raha selama tiga jam. Setibanya di Pelabuhan Raha, saya melanjutkan perjalanan dengan mobil selama 45 menit.

Secara administratif, Kebupaten Muna Barat merupakan pemekaran dari Kabupaten Muna pada tahun 2014. Ada sebelas kecamatan di sini, yaitu Sawerigadi, Barangka, Lawa, Wadaga, Tiworo Selatan, Maginti, Tiworo Tengah, Tiworo Utara, Tiworo Kepulauan, Kusambi, dan Napano Kusambi. Masyarakat di sini hidup dari bersawah dan berladang. Hasil bumi utamanya adalah kacang mete, jagung, serta gula semut.
Masyarakat di sini hidup dalam kesederhaan dan keramahan. Hal itu perwujudan nilai kearifan lokal yang disebut Pobini-biniti kuli (saling tengang rasa), Poangka-angka tau (saling menghargai), Poma-masigho (saling menyayangi), dan Poadha-adhati (saling menghormati).
Sepanjang perjalanan menuju penginapan yang ada di Tikep (Tiworo Kepulauan), saya mendapati kebupaten baru ini masih sepi penduduk. Meski jalanan terbilang datar datar sehingga mudah dilalui, pengendara tetap dituntut untuk berhati-hati karena minimnya penerangan jalan serta adanya beberapa ternak warga yang berkeliaran di beberapa titik.
Setelah sekitar lima hari di sini dan menyelesaikan semua urusan, saya coba melakukan perjalanan keliling. Tempat pertama yang saya kunjungi adalah mata air Matakidi di Desa Barangka. Letaknya tidak jauh dari jalan raya.

Sekilas tempat ini sangat menarik. Lokasnya masih sangat asri. Banyak ditumbuhi pepohonan yang berusia puluhan hingga ratusan tahun. Di sini saya bisa mendengar suara burung dan monyet. Pertanda ekosistem di sini masih sangat alami.
Tempat ini merupakan permandian yang sumber airnya berasal dari mata air bebatuan dan membentuk sebuah kolam alami dengan kedalaman kurang lebih 2 meter. Airnya jernih berwana hijau kebiruan. Uniknya, mata air ini tidak pernah kering meski sekalipun di musim kemarau. Tak heran kalau warga sekitar menjadikannya tempat mencuci dan mengambil air untuk kebutuhan sehari-hari.

Sekitar 20 meter di sebelah kanan Matakidi, terdapat kolam mata air yang bernama Ambolokidi. Kolam mata air ini tidak digunakan warga, karena konon menjadi lokasi pelaksanaan berbagai ritual adat. Bahkan juga menjadi tempat pembuangan bayi yang dilahirkan tidak sempurna. Seiring berjalannya waktu, tradisi membuang bayi ini makin ditinggalkan.
“Sekarang masyarakat mulai teredukasi tentang kesehatan. Ketika ada ibu hamil, tenaga kesehatan akan melakukan pemantauan agar asupan gizi terpenuhi. Bayi pun bis alahir dengan sehat dan selamat,” kata seorang teman yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan.
Menurut informasi dari warga setempat, di wilayah Barangka memang ada banyak kolam mata air. Sayangnya, meski lokasinya cukup menarik, belum dilirik pemerintah daerah sebagai tempat tujuan wisata. Kondisi jalanan masih sangat buruk dan beberapa fasilitas di situ nampak berantakan tak terurus. Menariknya, meski tempat ini dipakai beraktivitas oleh warga, saya tidak melihat sampah kemasan bekas makanan ataupun platik berceceran. Bukti tingginya kesadaran masyaraiat di sini terhadap kebersihan lingkungan.

Sebelum pulang, saya singgah di pemanadian Wakante, Desa Latugho, Kecamatan Lawa. Di sini juga ada sebuah mata air alami dengan beberapa gazebo di sekelilingnya. Suasananya sangat asri. Namun yang menarik perhatian saya adalah sebidang tanah yang berjarak sekitar 40-50 meter dari kanan kolam. Tanah lapang dengan berukuran sedang dengan pagar kayu di sekelilingnya. Sekilas seperti arean aduan.

“Di sini, pada waktu-waktu tertentu diadakan tarung kuda, atau dalam bahasa lokal disebut Pogeraha. Tarung kuda diadakan untuk menyambut tamu kehormatan, perayaan hari besar, atau acara penting lain. Tradisi ini sudah ada sejak zaman kerajaan Muna,” kata teman yang merupakan warga lokal.
Kuda yang ditarungkan adalah kuda jantan dewasa yang sudah terlatih. Jalannya pertarungan diawasi oleh seorang pawang. Tugasnya memisahkan kuda agar tidak terlalu parah melukai lawannya. Pertarungan dimulai dengan menampilkan sekelompok kuda betina yang dipimpin seekor kuda jantan. Kemudian seekor kuda jantan asing memasuki arena untuk mendekati kuda betina.

Inilah yang akan memicu naluri kuda jantan pemimpin kelompok tadi untuk bertarung demi melindungi kelompok betina. Kedua kuda yang bertarung akan beradu tendangan. Bila kemudian sampai menggigit, pawang akan turun tangan melerai.