Jakarta – PDI Perjuangan sulit membuktikan adanya perbuatan melawan hukum penguasa (PMHP) dalam gugatan terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI pada sidang Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Politisi Partai Golkar, Dhifla Wiyani, mengatakan bahwa terdapat lima unsur yang harus terpenuhi bersifat kumulatif agar gugatan PMHP tersebut bisa dikabulkan.
“Jika satu saja unsur tidak terpenuhi maka PMHP harus dinyatakan tidak terbukti,” kata Dhifla dalam keterangan resmi di Jakarta.
Kelima unsur yang harus dipenuhi tersebut, yakni adanya perbuatan, perbuatan itu melawan hukum, adanya kerugian, adanya kesalahan, dan adanya azas kausalitas (hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum dengan akibat yang ditimbulkan).
Adapun yang dimaksud dengan gugatan PMHP adalah gugatan perbuatan melawan hukum sesuai dengan Pasal 1365 KUHP (Perdata), di mana pelakunya adalah badan dan/atau pejabat pemerintah.
Untuk itu, Dhifla menuturkan tidak mudah untuk membuktikan adanya PMHP oleh KPU RI dalam melaksanakan tugasnya menyelenggarakan pemilihan umum (Pemilu) 2024, terutama dalam bagian menghitung adanya kerugian yang jelas dan terperinci yang dialami oleh PDI Perjuangan.
Selain itu, gugatan PMHP bukanlah gugatan yang bisa menunda pelaksanaan penetapan KPU RI atas penetapan presiden terpilih tahun 2024. Hal tersebut karena, seandainya KPU RI dinyatakan telah melakukan PMHP, maka PTUN secara hukum tidak berwenang membatalkan atau menyatakan tidak sah atas Surat Keputusan (SK) KPU Nomor 360 Tahun 2024 tentang penetapan hasil pemilihan umum tahun 2024.
“Menurut Pasal 24C UUD 1945, yang berhak membatalkan SK KPU tersebut hanyalah Mahkamah Konstitusi,” jelasnya.