Jakarta – Ketua Tim Hukum Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis mengatakan ada tiga hakim yang menyampaikan dissenting opinion atau pendapat berbeda dalam putusan sengketa Pilpres 2024. Ini mengandung makna bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak memberi mandat penuh kepada pasangan calon presiden dan wakil presiden (paslon) Prabowo-Gibran.
Pasalnya, dari 8 hakim MK ada tiga yang memiliki pandangan berbeda dengan lima hakim lain. Dengan demikian, semestinya Prabowo-Gibran mengetahui bahwa ada tiga hakim MK yang memberi catatan-catatan atas kemenangannya di Pilpres 2024.
Setidaknya ada empat catatan penting dari hakim konstitusi yang mengajukan dissenting opinion. Mereka adalah: Arief Hidayat, Saldi Isra dan Enny Nurbaningsih.
Pertama, permohonan paslon nomor 01 dan paslon nomor 03 tidak salah kamar. Artinya, MK memiliki kewenangan tidak saja mengadili perbedaan perolehan suara, tapi persoalan yang menyangkut pelanggaran etika, prosedur dan pelanggaran administratif juga menjadi kewenangan MK.
“Jadi perdebatan mengenai MK dan kewenangannya sudah tidak relevan untuk dilakukan karena MK sudah mengatakan bahwa MK bisa mengadili semua persoalan perselisihan pemilu, baik itu pelanggaran perolehan suara, etika, prosedur, administratif dan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan massif (TSM),” jelas Todung usai majelis hakim MK membacakan putusan sengketa hasil Pilpres 2024, Senin (22/4/2024) di Jakarta.
Kedua, tiga hakim yang dissenting opinion dan juga dikatakan dalam putusan MK bahwa persoalan bansos perlu peraturan yang lebih jelas karena pendistribusian bansos dilakukan pada waktu yang berhimpitan dengan pelaksanaan Pilpres dan pemilu. Ini menimbulkan persepsi bahwa bansos dipolitisasi, digunakan untuk kepentingan paslon tertentu.
“Hakim MK Saldi Isra dan Enny Nurbaningsih mengatakan bahwa perlu peraturan yang lebih komprehensif untuk penyaluran bansos,” ujar Todung.
Ketiga, mengenai intervensi kekuasaan.
Menurut Todung, Arief Hidayat dalam sidang MK pada hari ini berbicara cukup banyak mengenai intervensi kekuasaan yang diatur sedemikian rupa supaya tidak menimbulkan kesan menguntungkan paslon tertentu.
“Ini penting karena cawe-cawe Presiden Joko Widodo dan menteri-menteri Jokowi itu jelas menguntungkan paslon, saya kira ini menjadi hal serius yang harus diputuskan oleh DPR dan pemerintah,” katanya.
Keempat, Arief juga mengatakan tidak mungkin bicara penyelesaian kecurangan TSM dalam waktu 14 hari. Oleh karena itu, ke depan kalau ingin menyelesaikan persoalan sengketa Pilpres secara tuntas maka tidak boleh dibatasi waktunya hanya 14 hari.
Keadilan Substantif
Sementara itu, anggota Tim Hukum Ganjar-Mahfud, Maqdir Ismail menggarisbawahi tentang keadilan substantif bukan sekadar keadilan prosedural seperti yang disampaikan tiga hakim yang dissenting opinion.
Menurutnya, di beberapa negara yang Pilpres-nya diuji di Mahkamah Agung (MA) atau MK, para hakim memutuskan bahwa substansi dan prosedur dari persoalan perselisihan hasil Pilpres mendapat tempat prioritas atau menjadi hal yang utama.
“Karena yang butuh mendapat perhatian adalah keadilan di dalam pemilu, electoral justice bisa terjadi kalau ada kesetaraan. Ini catatan untuk ke depan. Yang membuat kami miris selama ini KPU dan Bawaslu acap kali lalai dalam melakukan kewajiban mereka seperti yang disampaikan di dalam dissenting opinion. Sebentar lagi akan pilkada kalau tidak ada perubahan, maka hal ini akan terus terjadi,” ujar Maqdir.
Adapun, Henry Yosodiningrat menambahkan, tiga hakim yang dissenting opinion bermakna bahwa kemenangan atau kekalahan dalam perkara hasil Pilpres 2024 tidak mutlak karena ada tiga hakim berbeda pendapat.
“Intinya dari tiga pendapat hakim itu sama persis dengan alasan yang kita kemukakan dalam permohonan. Ada tiga hakim yang pandangannya berbeda, dan pendapatnya itu sama persis dengan yang kita dalilkan, bahkan mereka menganggap apa yang kita dalilkan itu terbukti. Kalau kecewa ya kecewa tetapi hukum mengatakan itu, soal legitimate atau tidak silakan publik yang menilai,” pungkas Henry.