Jakarta – Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Charles Simabura mengapresiasi tiga hakim Mahkamah Konstitusi (MK), yang mengajukan dissenting opinion atau pendapat berbeda dalam putusan MK terkait Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (PHPU) Pilpres 2024.
Dia menilai ketiga hakim yang mengajukan dissenting opinion ingin menggali lebih mendalam substansi yang dipersoalkan dalam perkara. Tiga hakim tersebut adalah Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Enny Nurbaningsih.
“Saya mengapresiasi tiga hakim yang dissenting opinion karena mau menggali lebih substansi. Di dalam dissenting opinion cukup baik, Saldi bilang ada kenaikan anggaran presiden dan penyaluran bansos, tapi di dalam suara mayoritas tidak ada yang ganjil meskipun ada yang mengakui politik dinasti, keterlibatan bansos dan nepotisme,” ujar Charles usai majelis hakim MK membacakan putusan PHPU 2024 yang menolak seluruh permohonan paslon 01 Anies-Muhaimin dan paslon nomor 03 Ganjar-Mahfud MD, di Gedung MK, Senin (22/4/2024).
Sementara itu, calon wakil presiden (Cawapres) Mahfud MD menyebut bahwa sepanjang sejarah, baru kali ini ada hakim MK yang mengajukan dissenting opinion terkait sengketa hasil Pilpres.
“Ini menarik sepanjang sejarah MK kalau menyangkut pemilu tidak pernah ada dissenting opinion. Saya ikut MK sejak awal, karena kode etik hakim MK itu kalau menyangkut jabatan orang jangan sampai ada dissenting opinion supaya kelihatan kompak dan tidak terjadi masalah. Maka pada Pemilu 2004, 2009, 2014 dan 2019 tidak pernah ada dissenting opinion kalau ada perbedaan disatukan, tetapi ini tampaknya tidak bisa dikompakkan,” tukas Mahfud.
Dissenting Opinion Saldi Isra
Saldi dalam pendapat berbedanya mengatakan memiliki posisi hukum yang serupa pada sebagian isu yang didalilkan pemohon. Namun, ada dua persoalan yang menjadi perhatian Saldi dalam menyampaikan pendapat berbeda itu.
“Ada dua hal yang membuat saya mengambil haluan untuk berbeda pandangan dengan pendapat mayoritas majelis hakim,” katanya saat membacakan dissenting opinion terkait putusan sengketa hasil Pilpres 2024.
Pertama, persoalan mengenai penyaluran dana bantuan sosial atau bansos yang dianggap menjadi alat untuk memenangkan salah satu peserta pemilu presiden dan wakil presiden.
Kedua, persoalan mengenai keterlibatan aparat negara, pejabat negara, atau penyelenggara di sejumlah daerah.
Ketiga, saran mengadakan Pemungutan Suara Ulang atau PSU.
Berikut isi dissenting opinion Saldi Isra:
Bansos
Saldi menilai, politisasi bansos yang menjadi salah satu dalil permohonan dari Anies-Muhaimin, terbukti terjadi di Pilpres 2024.
“Saya berkeyakinan bahwa dalil pemohon terkait dengan politisasi bansos beralasan menurut hukum,” ucapnya.
Karena itu, dia merasa mengemban kewajiban moral untuk mengingatkan guna mengantisipasi dan mencegah terjadinya pengulangan atas keadaan serupa dalam setiap kontestasi pemilu. Apalagi dalam waktu dekat akan dilaksanakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) secara serentak pada November 2024.
Menurut Saldi, dengan putusan ini, penggunaan anggaran negara atau daerah oleh petahana, pejabat negara, atau pun oleh kepala daerah demi memenangkan salah satu peserta pemilihan yang didukung dapat dimanfaatkan sebagai celah hukum dan dapat ditiru menjadi bagian dari strategi pemilihan.
Sementara itu, lanjutnya, dengan menyatakan dalil a quo terbukti, maka akan menjadi pesan yang jelas dan efek kejut (detterrent effect) kepada semua calon kontestan dalam Pilkada bulan November 2024 yang akan datang untuk tidak melakukan hal serupa.
“Berdasarkan pertimbangan hukum dan fakta tersebut, pembagian bansos atau nama lainnya untuk kepentingan elektoral menjadi tidak mungkin untuk dinafikan sama sekali,” tegasnya.
Keterlibatan Aparat Negara
Selain bansos, Saldi juga mengatakan persoalan mengenai keterlibatan aparat negara, pejabat negara, atau penyelenggara di sejumlah daerah.
Dia menilai, kedua dalil pemohon mengenai politisasi bansos dan mobilisasi aparatur negara atau penyelenggara negara adalah beralasan menurut hukum.
Pemungutan Suara Ulang (PSU)
Menurut Saldi, MK harusnya memerintahkan diadakannya PSU di beberapa daerah.
“Demi menjaga integritas penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil maka seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan PSU di beberapa daerah sebagaimana disebut dalam pertimbangan hukum di atas,” katanya.