Jakarta- Sebanyak 3 dari 8 hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan pendapat berbeda atau dissenting opinion terkait putusan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Paslon 1 dan Paslon 3 yang ditolak MK.
Adapun ketiga hakim konstitusi yang memberikan dissenting opinion, yakni oleh Hakim Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat.
Dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi secara terbuka untuk umum, pada Senin (22/4/2024), ketiga hakim konstitusi diberi kesempatan membacakan disenting opinion mereka.
Saldi Isra yang mendapat kesempatan pertama menyoroti aspek jujur dan adil dalam pelaksanaan Pemilihan Umum, yang menurutnya seharusnya tidak hanya dipertimbangkan sesuai prosedur hukum tetapi juga etika.
Melampaui batas keadilan prosedural, lanjutnya, asas jujur dan adil dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 tidak berhenti pada batas keadilan prosedur semata. Jujur dan adil dalam norma konstitusi tersebut menghendaki sebuah keadilan substantif.
“Bilamana hanya sebatas keadilan prosedural, adalah pemilu jujur dan adil tidak akan pernah hadir. Sebab, Pemilu di masa Orde Baru pun berjalan memenuhi segala prosedur yang ada, dan dijalankan sesuai mekanisme Pemilu saat itu, namun secara empiris pemilu Orde Baru tetap dinilai curang karena berjalan tidak fair dan berpihak pada calon tertentu,” kata Saldi.
Menurut dia, asas jujur dan adil dalam pemilu bukan hanya mengacu standar sikap patuh pada aturan, melainkan sikap untuk tidak berlaku curang, tidak berbohong, tidak manipulasi, dan tidak memanfaatkan celah hukum atau kelemahan hukum pemilu.
“Dalam arti ukuran jujur dan adil bukan sebatas melihat dari sisi formalitas prosedural hukum, melainkan mencakup aspek yang berada di atas hukum, yaitu etika (in casu etika) dalam kontestasi pemilu,” ujar Saldi.
Terkait dengan itu, Saldi menilai, mahkamah seharusnya tidak hanya memutus perkara PHPU terbatas pada angka-angka statistik semata. Hal itu sama saja dengan menurunkan derajat amanah MK dalam menjaga nilai-nilai konstitusi (constitutional values), dan prinsip-prinsip demokrasi (democratic principles).
Secara empirik, lanjutnya, mahkamah tidak membatasi diri sekadar untuk hanya memeriksa dugaan kesalahan penghitungan atau perbedaan suara semata. Dalam hal ini, MK tidak memasung dirinya dengan tafsir sempit sebatas angka.
“Oleh karena itu, saya memandang bahwa karakteristik pembuktian harus ditempatkan dalam kerangka untuk memberikan atau menumbuhkan keyakinan hakim dengan menggunakan standar yang tidak mungkin disamakan persis dengan pembuktian materiil,” ungkap Saldi.
Dia menilai, seorang hakim konstitusi dapat memutus sepanjang bukti yang ada dan fakta yang diperoleh dalam persidangan masih relevan serta menambah keyakinan pada diri hakim dalam menjalankan fungsi peradilan konstitusi sebagaimana amanat Pasal 34C ayat (1) UUD 1945.
Posisi Berbeda
Putusan MK yang menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima seluruhnya karena tidak beralasan menurut hukum, Saldi memiliki posisi berbeda untuk beberapa persoalan.
Ada 2 hal yang membuat Saldi mengambil putusan berbeda atau memberikan dissenting opinion, yaitu persoalan mengenai penyaluran dana bantuan sosial yang dianggap menjadi alat untuk memenangkan salah satu peserta pemilu presiden dan wakil presiden.
Selain itu perihal politisasi bansos dan keterlibatan aparat sipil negara (ASN), pejabat kepala daerah, hingga pengarahan kepala desa untuk memenangkan paslon tertentu.
“Oleh karena itu, demi menjaga integritas penyelenggaraan Pemilu yang jujur dan adil, maka mahkamah seharusnya memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang di beberapa daerah sebagaimana disebut dalam pertimbangan hukum,” tutur Saldi.
Pendapat serupa juga disampaikan Enny Nurbaningsih dalam dissenting opinion yang menyoroti soal keterlibatan atau mobilisasi pejabat atau aparat negara termasuk adanya politisasi bansos dalam proses Pilpres 2024.
Enny juga menyoroti pihak penyelenggara pemilu agar dapat melaksanakan tugas secara profesional, independen dan imparsial sesuai konsep pemilu yang jujur dan adil yang diamanatkan UUD 1945, yakni pemilu yang jujur dan adil secara prosedural dan subtansial.