Jakarta – Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari menegaskan, Mahkamah Konstitusi (MK) berhak memanggil dan menghadirkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk didengar keterangannya pada sidang sengketa hasil Pilpres 2024.
Menurut dia, alasan hakim MK tidak elok memanggil Jokowi karena merupakan kepala negara. Ada wewenang MK mempermasalahkan kerja presiden secara konstitusional, jika presiden dianggap melanggar hukum dan tidak memenuhi syarat menjadi presiden.
Menurutnya, urusan presiden sebagai kepala negara sangat berbeda seperti pada misi diplomatik, presiden bertugas mewakili nama negara.
“Ini kan konteks kepemiluan. Dan, presiden dianggap terlibat dalam kecurangan pemilu,” paparnya dikutip dari kanal Youtube Feri Amsari, Jumat (12/4/2024).
Menteri Bela Presiden
Pada kesempatan itu, Feri mengatakan, keterangan empat menteri yang dipanggil ke sidang sengketa Pilpres 2024 pada Jumat (5/4/2024), cenderung membela Presiden Jokowi dan programnya.
Diketahui, empat menteri yang dipanggil MK adalah: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Sosial Tri Rismaharini, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, dan Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy.
Mejelis hakim yang terdiri atas delapan orang mengajukan pertanyaan sekitar cawe-cawe Jokowi dan bantuan sosial (bansos) yang dibagikannya menjelang Pilpres 2024.
Feri menilai, pertanyaan yang diajukan hakim konstitusi tidak tajam dan jawaban para menteri cenderung normatif.
Dosen Universitas Andalas itu mencontohkan, hakim tidak bertanya kepada Airlangga mengapa dia dan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan turut membagikan bansos secara langsung ke masyarakat pada masa kampanye. Padahal, membagikan bansos bukan tugasnya.
Tindakan itu dinilai melanggar UU Nomor 11/2009 dan UU Nomor 14/2019, yang menyebut bahwa pembagian bansos itu merupakan tugas menteri sosial.
“Kenapa para hakim tidak bertanya kepada Pak Airlangga, Pak Zulkifli Hasan turun membagikan bansos, sembako dan bantuan tertentu, karena itu bukan tugas mereka. Dan, harusnya bertanya, bukankah Pak Airlangga tidak berwenang karena itu bukan tugas Bapak dan melanggar undang-undang kementerian negara? Pertanyaan harusnya setajam itu, lalu Bapak kok membagikan, secara administrasi berarti Bapak melanggar ketentuan undang-undang. Sesuatu yang melanggar UU itu ada sebabnya,” kata Feri.
Hakim, lanjutnya, semestinya mempertanyakan kepada Muhadjir kenapa ikut memberi keputusan data penerima bansos, padahal seharusnya hanya mengkoordinasi saja.
“Yang saya tangkap memang para menteri sekonyong-konyong membela presiden dan programnya. Tetapi harus dilihat MK sebagai hakim karena sifatnya aktif, betul-betul harus menggali dan pertanyaan harus mendalam,” tandasnya.
MK Tidak Beri Pelajaran
Dia menyebut, ada beberapa hakim yang mengajukan pertanyaan yang kuat tetapi tidak diikuti dengan pertanyaan yang lebih tajam, misalnya kenapa presiden mendatangi daerah kubu lawan dan memberikan bantuan dana.
Kalau bantuan lebih dari jumlah yang ditentukan oleh undang-undang dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU), maka termasuk pelanggaran pemilu. Dalam konteks ini, hakim bisa mempertanyakan apakah ada atau tidak teguran dari KPU.
“Ini tidak terelaborasi dengan menarik di sidang kemarin, dan MK tidak memberikan pembelajaran yang baik untuk peserta pemilu karena kecenderungan mereka berpikir curang sehabis-habisnya nanti tidak bisa dibuktikan,” ujarnya.
Menurut Feri, harus ada upaya untuk membenahi pemilu agar peserta tidak mencurangi pemilu sehabis-habisnya dan jarak perolehan suara yang terlalu lebar membuat kecurangan-kecurangan itu diabaikan di MK.
Dia khawatir ada upaya untuk mengabaikan nilai-nilai penegakan hukum yang baik dalam persidangan di MK.