Depok –Demokrasi di Indonesia dinilai mundur satu generasi akibat karut-marut penyelenggaraan pemilu 2024, yang ditengarai penuh dengan kecurangan yang sistematik dan sistemis.
Hal tersebut ditegaskan akademisi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI), Reni Suwarso. Menurutnya, kini, dengan dugaan rekayasa pemilu yang dilakukan, banyak yang merasa bahwa proses demokrasi mundur satu generasi.
“Proses Pemilu 2024 ini memang dibuat kacau secara administrasi untuk membuat peluang intervensi penguasa memenangkan kandidat favoritnya. Kekacauan administrasi pemilu di antaranya adalah rekayasa konstitusi, penguasaan dan pengendalian lembaga penyelenggara pemilu, subversi peraturan dan aturan pemilu, manipulasi proses pemilu, pendaftaran pemilih dan penyelenggaraan pemilu,” ungkap Reni saat ditemui di Kampus UI, Depok, Jawa Barat, Kamis (21/3/2024).
Menurut Reni, rekayasa pemilu seperti ini ditemukan di Nigeria, Gambia, Ghana, Cameroon, Zimbabwe, Togo, Kenya, Zambia, Côte d’Ivoire, Senegal, and Uganda pada periode 1970-1980an. Adapun Indonesia pasca-reformasi 1998, telah menyelenggarakan lima kali pemilu yang diakui internasional termasuk bebas dan adil. Oleh karena itu Reni menegaskan proses pemilu 2024 di Indonesia menjadi buruk dan mundur satu generasi.
“Ini adalah proses kejahatan pemilu yang direkayasa secara sistematik dan sistemis. Pemilu hasil rekayasa seperti ini dalam istilah Huntington and Moore (1970) disebut ‘Liberal Machiavellian Election’ atau ‘pemilu terbuka tetapi penuh tipu muslihat’,” ujarnya menekankan.
Dia menjelaskan pemilu 2024 telah menimbulkan kontroversi besar terkait klaim bahwa hasilnya telah direkayasa untuk memenangkan pasangan Prabowo-Gibran dengan cara yang tidak fair. Oleh karena itu, wajar jika masyarakat dari berbagai kalangan melakukan unjuk rasa.
“Protes masyarakat terhadap dugaan kecurangan ini telah mencapai titik di mana unjuk rasa terjadi hingga tengah malam pada Rabu (20/3/2024), usai Komisi Pemilihan Umum (KPU) membacakan hasil rekapitulasi Pemilu 2024. Massa membakar ban dan membawa spanduk yang menuntut turunnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang diduga menjadi biang dari kecurangan tersebut,” ujar Reni
Hasil pemilu tersebut menunjukkan kemenangan luar biasa bagi pasangan Prabowo-Gibran dengan 96.214.691 suara. Sementara pasangan lainnya, Anies-Muhaimin 40.971.906 suara dan Ganjar-Mahfud dengan 27.040.878 suara.
Menurut Reni, selain unjuk rasa, pernyataan sikap dan deklarasi sudah sering disampaikan oleh berbagai pihak. Termasuk akademisi hingga guru besar universitas juga mahasiswa, menyerukan untuk mengembalikan keadilan konstitusi dan hak-hak warga. Ia menyebutkan, antara lain adanya pernyataan sikap Dewan Guru Besar Universitas Indonesia (UI) juga para guru besar dari berbagai PTN/PTS lainnya pada Februari lalu.
Selain itu, adanya pernyataan sikap mahasiswa FISIP UI, pada Kamis, 7 Maret 2024. Kemudian, yang terakhir adalah Seruan Salemba ‘Tegakkan Konstitusi, Pulihkan Hak Kewargaan dan Peradaban Berbangsa’ yang dibacakan oleh para akademisi se-Jabodetabek di Kampus UI, Salemba, Jakarta, pada 14 Maret lalu.
“Kalau pemerintah masih ndableg tidak mau mendengarkan pendapat rakyatnya, mungkin para penjaga moral bangsa perlu bergerak,” tegas Reni.
Pernyataan-pernyataan sikap tersebut menurutnya menyoroti kekhawatiran atas kemunduran demokrasi di Indonesia. Padahal, Indonesia telah diakui internasional sebagai negara yang menyelenggarakan pemilu bebas dan adil sejak Reformasi 1998.
Akademisi dan BEM Bergerak Mengkoreksi Demokrasi
Sebelumnya, pada Senin lalu (18/3/2024) Pengamat Politik Indo Barometer, M. Qadari menyatakan, bahwa pemilu satu putaran memang kehendak rakyat menurut temuan survei yang dilakukan lembaganya. Pernyataan tersebut disampaikan Qadari pada Diskusi Publik bertajuk: ‘What’s Next After Pemilu?’ di Kampus UI Depok, Jawa Barat.
Menanggapi pernyataan tersebut, Reni yang juga menjadi pembicara di acara itu menyatakan tentu boleh pemilu satu putaran. Namun prosesnya harus sesuai aturan dan dilakukan dengan demokratis. “Tentu boleh satu putaran, yang tidak boleh adalah merakayasa menjadi satu putaran. Sehingga membuat kompetisi pemilu menjadi tidak free and fair!” tegasnya.
Pernyataan ini, kemudian langsung diamini oleh Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI, Verrel Uziel; Presiden Mahasiswa BEM KM Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Siti Mauliani; dan Presiden Mahasiswa Trisakti, Vladima Insan Mardika yang juga hadir sebagai pembicara.
“Kita bisa belajar dari ‘Arab Spring’, meluncurkan Gerakan Koreksi Demokrasi Indonesia dimulai melalui media sosial lalu bergelombang menggulung master-mind rekayasa satu putaran,” kata Verrel, Ketua BEM UI.
Bahkan untuk menindaklanjuti penetapan hasil Pemilu 2024, akademisi dan sejumlah BEM sepakat untuk bergerak mengoreksi demokrasi yang dinilai mengalami kemunduran.