Jakarta – Upaya Indonesia meningkatkan nilai tambah hasil tambang mineral dan batubara (minerba) menghadapi tantangan serius. Pasalnya, hingga sekarang Indonesia masih belum memiliki teknologi pengolahannya secara mandiri. Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara Irwandy Arif mengungkapkan hal ini dalam Seminar Energy for Prosperity: he Economic Growth Impacts of Coal Mining di Hotel Aryaduta, Jakarta.
“Begitu kita bicara nilai tambah, maka seluruh proses nilai tambah yang ada di Indonesia, baik batubara maupun mineral ada kelemahan besar, kita tak punya teknologinya apalagi manufakturnya,” katanya.
“Kita membayar terlalu mahal. Misalnya nikel saja, itu semua dari luar teknologinya,” sambungnya.
Pada sektor nikel, umumnya teknologi memang didatangkan dari China. Kemudian, ada teknologi yang dibawa PT Vale Indonesia Tbk (INCO) dari Kanada pada medio 1970-an. Tak lama berselang, PT Aneka Tambang Tbk (Antam) juga membawa teknologi asal Jepang dalam proses bisnisnya. Meski sudah lama digunakan di Indonesia, semua teknologi ini dinilai masih mahal untuk Indonesia, sehingga tak mampu bersaing dari sisi harga.
“Tapi mereka kalah bersaing dari harga. Nah kalau kita semua menghitung berapa biaya yang kita keluarkan untuk teknologi, sebenarnya besar sekali,” jelasnya.


