Jakarta – Sejumlah guru besar dan akademisi dari berbagai universitas di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek), secara kolektif menyuarakan keprihatinan mereka terhadap kondisi politik dan hukum di Indonesia saat ini melalui ‘Seruan Salemba 2024’.
Seruan Salemba 2024 ini menegaskan keprihatinan sejumlah guru besar dan akademisi terhadap praktik penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan melalui rekayasa hukum, yang mereka gambarkan sebagai politisasi yudisial. Para guru besar dan akademisi tersebut menganggap praktik ini sebagai ancaman serius terhadap demokrasi.
“Dalam praktiknya, terjadi penyalahgunaan kekuasaan dengan rekayasa hukum (politisasi yudisial), yang semakin meruntuhkan demokrasi,” kata Guru Besar Universitas Indonesia (UI) Sulistyowati Irianto saat membacakan Seruan Salemba 2024 di Gedung Emeri, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI), Kamis (14/3/2024).
Pada kesempatan itu, Sulis menyoroti kebutuhan akan pemimpin yang adil dan netral dalam mengemban tugas-tugasnya. Melalui pernyataannya, ia menegaskan konstitusi mewajibkan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, untuk berdiri di atas semua golongan tanpa terkecuali.
Melalui Seruan Salemba 2024 pula, Sulis menekankan bahwa presiden perlu menjaga integritas demokrasi dan pemerintahan yang adil. “Namun, amanat konstitusi tersebut tidak dilaksanakan semata demi kepentingan kekuasaan,” tegasnya.
Atas dasar tersebut, para guru besar dan akademisi menyampaikan sikap yang dituangkan ke dalam 7 poin Seruan Salemba, antara lain:
1. Mendesak penyelenggara negara untuk menyiapkan suksesi kekuasaan dengan cara bermartabat dan beretika demi kepentingan yang luas, yaitu bangsa dan negara.
2. Mendesak dilakukannya reformasi hukum, khususnya atas produk perundang-undangan terkait politik dan pemilu, dan berbagai peraturan perundangan lain yang berimplikasi pada hayat hidup orang banyak, dengan proses transparan dan akuntabel; serta tidak lagi merumuskan hukum yang substansinya mengabaikan kedaulatan rakyat, dan hanya mengutamakan kepentingan segelintir orang saja (oligarki).
3. Mendukung parlemen (DPR RI) untuk segera bekerja menjalankan fungsi-fungsi menyuarakan suara rakyat, melakukan penyelidikan secara terbuka terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan eksekutif agar dapat dipertanggungjawabkan.
4. Mendesak penghentian intimidasi terhadap warga negara, termasuk akademisi ketika menggunakan hak berekspresi dan mengingatkan pemerintah untuk mematuhi konstitusi dan negara hukum.
5. Mengajak warga masyarakat luas agar menjadi warga negara yang paham serta sadar akan hak-haknya dan berani mempertanyakan kebijakan publik khususnya yang berdampak pada ketidakadilan.
6. Mengajak para ilmuwan dari Sabang sampai Merauke untuk tetap bekerja keras menghasilkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara, dengan mengutamakan nilai etika, moral, serta budaya luhur yang diamanatkan oleh para pendiri bangsa.
7. Menyerukan kepada seluruh komponen bangsa untuk menjadikan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sebagai musuh bersama.