Jakarta – Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah menilai kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tahun 2025 dari 11 persen menjadi 12 persen sangat membenani rakyat dan berdampak pada perlambatan ekonomi nasional.
Oleh karena itu Said Abdullah mengimbau pemerintah agar berhati-hati dan membuat kajian yang matang atas rencana kebijakan tersebut.
Politikus PDI Perjuangan ini menilai rencana kebijakan kenaikan PPN memang akan memberi dampak kenaikan pendapatan negara antara Rp 350-375 triliun, namun juga memberi dampak perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional 0,12%.
Selain itu, kenaikan PPN juga akan membuat konsumsi masyarakat turun 3,2 persen, upah minimal anjlok, dan munculnya berbagai risiko ekonomi di tengah ketidakpastian global.
“Berdasarkan Undang Undang No. 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), pemerintah memang diberikan kewenangan untuk menaikkan atau menurunkan PPN. Namun dalam hemat saya, pemerintah harus berhati hati atas rencana kebijakan tersebut. Pada tahun 2022 lalu pemerintah telah menaikkan PPN dari 10 persen menjadi 11 persen. Dalam waktu tak berselang lama, PPN akan dinaikkan lagi, saya kira ini jalan pintas untuk menaikkan perpajakan, tidak kreatif, bahkan akan berdampak luas membebani rakyat,” ujar Said dalam keterangannya, Kamis (14/3/2024).
“Mandat UU HPP adalah mendorong reformasi perpajakan secara menyeluruh, mulai dari pembenahan administrasi data perpajakan, memperluas wajib pajak, termasuk mendorong transformasi shadow economy masuk menjadi ekonomi formal agar bisa terjangkau pajak, termasuk sektor digital yang tumbuh pesat namun selama ini lepas dari jangkau pajak. Kenapa hal-hal seperti tidak lebih diutamakan, ketimbang menaikkan PPN,” imbuh politisi PDI Perjuangan tersebut.
Lebih lanjut, Said mengungkapkan tarif PPN di Indonesia merupakan kedua tertinggi di Asia Tenggara.
“Kalau kita bandingkan dengan negara negara di ASEAN, tarif PPN kita saat ini sebesar 11 persen saja itu sudah tertinggi nomor dua di ASEAN. Filipina tarif PPN nya tertinggi di ASEAN sebesar 12 persen, Indonesia 11 persen, Malaysia, Kamboja, dan Vietnam masing masing 10 persen, sementara Singapura, Laos dan Thailand mencapai 7 persen. Kalau tahun depan kita naik 12 persen, menjadi tertinggi di ASEAN,” ungkapnya.
Terkait rencana kebijakan ini, Said juga menyoroti tingkat daya beli masyarakat. Menurutnya, daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih jika dibandingkan dengan periode sebelum 2019, atau sebelum pandemi COVID-19.
“Konsumsi rumah tangga pada tahun 2023 memang tumbuh 4,82 persen, tapi perlu kita ingat, pertumbuhan ini masih lebih rendah dibanding dengan rata rata periode 2011-2019 yang berada di level 5,1 persen. Kita juga bisa mencermati angka Indeks Penjualan Riil (IPR) antara periode sebelum covid19 dengan periode pemulihan sejak dua tahun lalu. Pada tahun 2019 IPR sempat menyentuh 250, dengan angka terendah 220, sementara pasca COVID-19, setidaknya di tahun 2023, IPR tahun 2023 rata rata di bawah 210,” jelas Ketua DPP PDI Perjuangan ini.
Said pun mengimbau pemerintah agar mengkaji rencana kebijakan tersebut dengan melihat seluruh aspek, tanpa membebani masyarakat.
“Prinsipnya, saya meminta pemerintah untuk membuat kajian atas rencana kenaikan PPN ini lebih komprehensif, mempertimbangkan semua aspek, bukan semata mata keinginan untuk menaikkan pendapatan negara, tetapi menimbang bagaimana kondisi perekonomian kita di tahun 2025, terutama daya beli masyarakat, tingkat inflasi di consumer good, perumahan, transportasi, pendidikan dan kesehatan. Pemerintah harus banyak akal untuk menaikkan pendapatan negara tanpa harus membebani rakyat,” pungkasnya.
Sebelumnya pemerintah berencana menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tahun 2025 dari 11 persen menjadi 12 persen. Rencana kebijakan tersebut telah disampaikan oleh Menteri Koordinasi Perekonomian, Airlangga Hartarto.
Adapun rencana kenaikan PPN disebut merupakan bagian dari upaya reformasi perpajakan dan menaikkan penerimaan perpajakan. Meski demikian, Kemenko Perekonomian juga akan tetap memberikan fasilitas PPN kepada sejumlah sektor, seperti sejumlah bahan pangan pokok rakyat untuk dibebaskan PPN.