Jakarta – Selama bertahun-tahun upaya pemerintah meningkatkan produktivitas padi Indonesia terus mengalami kegagalan. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), produktivitas padi Indonesia antara tahun 2018 hingga 2023 rata-rata di kisaran 5,20 ton per hektar. Produktivitas terendah terjadi tahun 2019 dengan angka 5,11 ton per hentar, sedangkan angka tertinggi 5,26 ton per hektar yang terjadi pada terjadi tahun 2023.
Menurut pengamat ekonomi pertanian Prof. Dr Bustanul Arifin, penyebab rendahnya produktivitas padi di Indonesia karena masih minimnya pemanfaatan riset, inovasi, dan adopsi teknologi.
“Karena lebih banyak mengandalkan luas panen, makanya begitu luas panen terganggu karena El Nino, produktivitasnya juga tidak akan naik,” ungkapnya saat menjadi pembicara dalam acara Agromaritim Outlook 2024 di Bogor, Selasa (27/2).
Sebagai solusi, pemerintah harus melakukan reformasi tata kelola pertanian dengan melibatkan menajemen inovasi serta melakukan sinergi penelitian dan oengembangan. Mengngat pesatnya pertumbuhan jumah penduduk, perubahan ini sudah sangat mendesak dilakukan.
Hal pertama yang harus dilakukan adalah memberi insentif kepada para petani guna melakukan perubahan teknologi. Kemudian mempermudah akses petani kepada pupuk dan benih. Selanjutnya mengembangjkan smart farming yang berorientasi pada pertanian presisi serta digitalisasi rantai pasokan.
“Inovasi kita rendah. Secara teori, IPB sudah mengembangkan smart farming, tetapi belum diadopsi. Jadi ini tugas kita semua untuk mem-push teman-teman di pemerintahan agar bisa segara mengadopsinya,” katanya.