Jakarta – Hari ini, 28 Februari 2024, Presiden Joko Widodo memberikan kenaikan pangkat Jenderal Kehormatan kepada Prabowo Subianto di GOR Ahmad Yani, Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta. Prabowo mendapatkan pangkat kehormatan Jenderal Bintang Empat penuh.
Jokowi menyebut penganugerahan itu sebagai penghargaan untuk berbakti pada negara dan sudah melewati proses melalui Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Menaggapi hal ini, pengamat militer Aris Santoso menganggap langkah Joko Widodo memberikan kenaikan Jenderal Kehormatan kepada Prabowo sebagai sikap yang kurang belajar dari sejarah. Hal ini mengingatkan saat Soeharto mendapat anugerah kehormatan jenderal bintang lima di masa pemerintahan Orde Baru.
“Problemnya ada di Jokowi. Sebagai Panglima Tertinggi TNI, Jokowi kurang menjaga empati dengan keluarga korban pelanggar HAM. Ini kan bonus luar biasa dari Jokowi pada Prabowo,” kata Aris.
Ia meambahkan, beda dengan jenderal kehormatan yang diterima Soesilo Soedarman, Susilo Bambang Yudhoyono, Luhut Binsar Panjaitan, Agum Gumelar, dan Hendropriyono, sosok Prabowo menyisakan problem dengan cacat pelanggaran Hak Asasi Manusia. “Surat Keputusan Pensiun Prabowo itu abu-abu, kontroversial. Pemberhentian pensiun dini Prabowo berbasis isu sensitif soal HAM. Di sini ada hal yang dilanggar oleh Jokowi soal etika dan kepantasan, mengapa gelar itu diberikan,” kata Aris.
Sementara itu, SETARA Institute memandang bahwa secara yuridis, kenaikan pangkat kehormatan itu tidak sah dan ilegal. UU Nomor 34 tahun 2024 tentang Tentara Nasional Indonesia tidak mengenal bintang kehormatan sebagai pangkat kemiliteran.
“Bintang sebagai pangkat militer untuk Perwira Tinggi hanya berlaku untuk TNI aktif, bukan purnawirawan atau pensiunan,” kata Direktur Eksekutif SETARA Institute Halili Hasan.
Jika merujuk pada UU No 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, maka Bintang yang dimaksud dalam UU tersebut adalah Bintang sebagai Tanda Kehormatan, yang menurut Pasal 7 Ayat (3), dalam bentuk Bintang Gerilya, Bintang Sakti, Bintang Dharma, Bintang Yudha Dharma, Bintang Kartika Eka Pakçi, Bintang Jalasena, dan Bintang Swa Bhuwana Paksa, bukan bintang sebagai pangkat kemiliteran perwira tinggi bagi purnawirawan militer.
Secara lebih spesifik, jika merujuk kepada Peraturan Menteri Pertahanan No. 18 Tahun 2012, pemberian kenaikan pangkat ini juga merupakan tanda tanya besar. Dalam ketentuan umum peraturan ini, disebutkan bahwa Kenaikan Pangkat Istimewa diberikan kepada PNS dengan prestasi luar biasa baik. Sedangkan Kenaikan Pangkat Luar Biasa (KPLB) diberikan kepada Prajurit yang mengemban penugasan khusus dengan pertahanan jiwa dan raga secara langsung dan berjasa dalam panggilan tugasnya. Dalam 2 kategori ini, tentu Prabowo tidak masuk kualifikasi sebagaimana yang dimaksud dalam peraturan tersebut.
Selain itu, bintang kehormatan sebagai pangkat militer perwira tinggi itu bermasalah bila diberikan Jokowi pada Prabowo. Sebagaimana diketahui bersama, Prabowo pensiun dari dinas kemiliteran karena diberhentikan melalui KEP/03/VIII/1998/DKP dan Keppres No. 62 Tahun 1998, bukan karena memasuki usia pensiun. Dengan demikian, keabsahan pemberian bintang kehormatan itu problematik. Sebuah kontradiksi jika sosok yang diberhentikan dari dinas kemiliteran kemudian dianugerahi gelar kehormatan kemiliteran.
Kedua, pemberian gelar kehormatan Jenderal Bintang Empat kepada Prabowo merupakan langkah politik Presiden Jokowi yang menghina dan merendahkan korban dan pembela HAM, terutama dalam Tragedi Penculikan Aktivis 1997-1998.
Dugaan keterlibatan Prabowo dalam kasus penculikan aktivis itu sudah jelas dinyatakan oleh satu lembaga ad hoc kemiliteran resmi yang dibentuk oleh negara bernama Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang rekomendasinya pemberhentian Prabowo dari dinas kemiliteran, dan kemudian dituangkan dalam bentuk Keputusan Presiden. Negara jelas menyatakan bahwa Prabowo merupakan pelanggar HAM, berdasarkan keputusan Negara.
“Maka langkah politik Jokowi tersebut nyata-nyata bertentangan dengan hukum negara tentang pemberhentian Prabowo dan pada saat yang sama melecehkan para korban dan pembela HAM yang hingga detik ini terus berjuang mencari keadilan,” tambah Halili.
Ketiga, dari sisi etika kepublikan, langkah Presiden Joko Widodo memberikan bintang kehormatan itu juga bermasalah. Presiden seharusnya lebih memikirkan nasib sebagian besar rakyat yang saat ini sedang mengalami kesulitan ekonomi serius, karena naiknya harga beras dan harga-harga sembako lainnya, bukan mengambil langkah politik untuk memberikan Bintang Kehormatan bagi Prabowo dengan pertimbangan dan untuk kepentingan politik, yaitu ‘menanam’ jasa kepada Prabowo yang diproyeksikan oleh Joko Widodo menjadi Presiden RI selanjutnya.
Oleh karena itu, SETARA Institute menuntut agar Jokowi mengurungkan rencana dan membatalkan pemberian bintang kehormatan kemiliteran untuk Prabowo.
“Jika tuntutan ini diabaikan, maka semakin jelaslah bahwa di ujung periode pemerintahannya, Presiden Joko Widodo lebih sering menampilkan tindakan politik dan pemerintahan yang bertentangan dengan hukum, melawan arus aspirasi publik, dan mengabaikan hak asasi manusia,” pungkasnya.