Tarakan – Kontestasi di Pemilihan Umum (Pemilu) khususnya Pemilihan Calon Senator Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di berbagai daerah begitu “uhuy”. Calon yang diperkirakan lolos melenggang ke Senayan akan banyak diisi “wajah” baru.
Dari Jawa Barat, nama komedian Alfiansyah Komeng meraup suara tertinggi diantara calon-calon lainnya. Berdasarkan hasil perhitungan suara sementara di situs Komisi Pemilihan Umum (KPU), hingga pukul 07:30 WIB, Sabtu (17/02) dengan data masuk mencapai 49,69 persen, Komeng meraup 1.380.427 suara atau 12,26 persen.
Angka tersebut jauh melebihi calon-calon lain pada surat suara DPD Jawa Barat. Di peringkat kedua, ada aktris Jihan Fahira dengan perolehan suara 512.161 atau 4,73 persen.
Sementara dari Jawa Timur, Kondang Kusumaning Ayu bersaing dengan 12 calon anggota DPD RI Dapil Jawa Timur pada Pemilu 2024. Lantaran wajahnya yang dinilai cantik oleh pemilih, maka banyak dicoblos oleh masyarakat Jawa Timur.
Dikutip dari real count laman resmi KPU, Kondang Kusumaning Ayu berada di posisi keempat perolehan suara terbanyak. Kondang berhasil mengungguli para petahana DPD – RI asal Jawa Timur seperti Ahmad Nawardi dan Adila Azis.
Menurut situs resmi KPU pada Jumat (16/2), perolehan suara Kondang begitu tinggi. Ia meraih 658.669 suara atau 11,39 persen. Saat berita ini ditulis, data penghitungan suara yang masuk ke KPU mencapai 43,49 persen atau 52.476 dari 120.666 TPS di Jatim per pukul 10.44 WIB.
Suara Kondang masih di bawah petahana AA La Nyalla Mahmud Mattalitti yang meraup 720.346 suara. Kondang yang merupakan pendatang baru ini juga bersaing dengan para pendatang baru yang sementara ini juga moncer perolehan suaranya.
Mereka adalah Lia Istifhama yang merupakan keponakan Khofifah Indar Parawansa hingga Agus Rahardjo, mantan Ketua KPK. Sementara ini, Lia meraih 656.803 suara. Sedangkan Agus meraup 691.533 suara.
Sementara dari Kalimantan Utara (Kaltara), hingga data sementara masuk di KPU mencapai 46,71 persen (Sabtu, 17/02/2024) ada satu nama “baru” yang mencolok dalam raihan suaranya. Selain berparas cantik, rentang pengalaman calon Senator tersebut juga komplit.
Foto Sri Sulartiningsih begitu unik di kertas surat suara. Calon senator dengan nomor urut 15 itu menggunakan warna hijab yang mencolok yakni warna pink. Selisih suara dengan dua kompetitor di atasnya begitu tipis.
Menjadi hal yang aneh jika nama Sri Sulartiningsih andai tersisih nantinya dari empat besar peraup suara tertinggi untuk DPD-RI asal Kaltara. Jika di real count KPU nama Sri Sulartingsih selalu konsisten di tiga besar, tidak demikian halnya di tim monitoring data Posko Sri Sulartiningsih yang merekapitulasi data C-1 plano di tiap kecamatan yang ada di Kaltara. Nama istri pemilik kelompok usaha Sadewa selalu bertengger di posisi ke dua setelah Herman.
Sebagai Ketua Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) Kaltara, Sri Sulartiningsih memang wajah “baru” dalam politik. Pengalaman Sri yang terentang lama sebagai pengusaha di berbagai sektor bisnis ditambah jaringan suami Sri, Haji Taming adalah pengusaha ternama di transportasi dan galangan kapal membuat raihan suaranya cukup menggoyahkan para petahana.
Sri Sulartingsih meraih 18.547 suara atau 11,61 persen dan mengungguli raihan suara petahana Marthin Billa yang mendapat 16.714 suara atau 10,46 persen. Sri juga “menaklukkan” petahan Fernando Sinaga yang mendulang 12.753 suara atau 7,98 persen. Dari 16 kandidat senator yang maju di Pemilu 2024, Kaltara mendapat alokasi empat kursi di DPD-RI.
Fenomena “Uhuy” di Pemilu 2024
Pengamat politik dari Nusakom Pratama Institute, Ari Junaedi menilai munculnya fenomena politik “uhuy” dalam Pemilu 2024 tidak terlepas dari kebosanan dan penilaian masyarakat yang menganggap representasi anggota legeslatif sebelumnya tidak berjalan optimal.
“Mereka butuh sosok baru dan berharap pilihan sekarang ini bisa menjadi tumpuan harapan akan hadirnya wakil rakyat yang berbeda. Soal wajah cantik, pesohor bahkan wajah baru dalam panggung politik menjadi agregasi politik alternatif karena pemilih kecewa dengan pilihannya yang terdahulu. Mereka butuh oase politik di Senayan,” ungkap Ari Junaedi.
Menurut Ari Junaedi yang juga pengajar program pascasarjana di berbagai universitas tersebut, fenomena politik “uhuy” menjadi tidak bisa dihalangi sepanjang kehadiran politisi-politisi senior memang stagnan dan tidak ada gebrakan di daerah pemilihannya. Artinya mereka tidak memberi manfaat terhadap konstituen dan suara pemilih hanya dibutuhkan saat Pemilu tiba.