Jakarta – Ketika kita mengunjungi rumah orang-orang Tionghoa, umumnya kita akan menemukan meja khusus yang di atasnya terletak berbagai jenis peralatan sembahyang. Meja inilah yang biasanya digunakan untuk ibadah dan melakukan penghormatan kepada leluhur mereka.
Selain itu, sembahyang leluhur juga kerap dilakukan di tempat tertentu lainnya seperti di rumah abu dan di pemakaman atau kuburan-kuburan orang-orang Cina.
Dalam upacara sembahyang biasanya digunakan benda-benda sebagai alat upacara seperti patung-patung, alat bunyi-bunyian dan sebagainya. Selain itu ada pula dupa atau Hio, lilin, papan leluhur atau papan arwah yang disebut Sien Ci atau Shen Wei, tempat menancapkan dupa atau hiolo yang jumlahnya disediakan dengan jumlah leluhur yang disembahyangi, kotak penyimpanan batang dupa, dan lain sebagainya.
Segala perlengkapan tersebut diletakkan di atas meja abu yang memang diperuntukkan khusus bagi leluhur. Meja abu umumnya terdiri dari 2 atau 3 buah meja berwarna merah Lou. Meja tinggi berukuran 6,5 x 2,5 kaki. Sedang meja rendang berukuran 3 kaki.
Jika tidak ada papan leluhur (Shen Wei), pada dinding belakang meja biasanya digantung potret leluhur. Bersama dengan potret tersebut biasanya juga terdapat gambar pemandangan alam, diapit oleh dua buah panji yang bertuliskan huruf-huruf Cina.
Keseluruhan gambar dengan panji-panji tersebut dinamakan Shen-Shui. Ini merupakan perlambang tempat tinggal roh leluhur. Terkadang altar persembahan juga dihias dengan aneka bunga-bunga.
Dalam prosesnya, persembahan kepada leluhur dibagi menjadi 2 bagian, yakni persembahan yang dibakar dan tidak dibakar. Persembahan yang dibakar biasanya berupa kertas dan uang-uang tiruan, sedangkan persembahan yang tidak dibakar berupa berbagai jenis makanan dan minuman.
Nantinya, makanan dan minuman ini akan disantap oleh seluruh anggota keluarga setelah upacara sembahyang selesai.
Proses sembahyang biasanya diikuti oleh seluruh anggota keluarga atau marga. Sembahyang biasanya dipimpin oleh lelaki tertua dalam keluarga. Adapun jika sembahyang di rumah abu, maka biasanya dipimpin oleh orang yang dianggap paling tua dan paling dihormati.
Tradisi sembahyang leluhur merupakan suatu bentuk peribadatan agama yang menekankan pada pengaruh roh leluhur terhadap kehidupan manusia.
Penghormatan kepada leluhur memiliki makna cerminan sikap “laku bakti”. Ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi Khonghucu (Konfusius) dalam kitabnya, Hau King 1:4-6:
“Sesungguhnya laku bakti adalah pokok kewajiban, daripadanya ajaran agama berkembang. Tuhan, anggota badan, rambut, dan kulit, diterima oleh ayah dan ibu, perbuatan tidak berani membiarkan rusak itulah permulaan laku baki. Menegakkan diri hidup menempuh jalan suci, meninggalkan nama baik itu dimulai dengan melayani orang tua, selanjutnya mengabdi kepada pemimpin (nusa, bangsa, negara) dan akhirnya menegakkan diri.”
Dengan sembahyang, mereka akan diingatkan kepada leluhur dan orang tua yang telah melahirkan dan membesarkan sebaik-baiknya.
Sembahyang leluhur bertujuan untuk mengenang dan menghormati para leluhur dan orang tua yang surah meninggal.
Kepercayaan orang Tionghoa terhadap kehidupan setelah meninggal sangat kuat. Mereka percaya bahwa roh-roh ini membutuhkan hal-hal sebagaimana ketika hidup di dunia. Dan semua kebutuhan itu hanya dapat diperoleh dari sanak keluarga yang masih hidup.