Jakarta – Dewan Pengurus Pusat Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (DPP GIPI) mendaftarkan uji materil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Poin yang digugat adalah pasal 58 Ayat (2), terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Di pasal 58 ayat (2) disebutkan khusus tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan pada diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40%, dan paling tinggi 75%.
Ketua Umum GIPI Hariyadi BS Sukamdani berharap dalam pengujian materiil ini, Mahkamah Konstitusi dapat mencabut Pasal 58 Ayat (2) pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022. Sehingga penetapan tarif PBJT yang termasuk dalam Jasa Kesenian dan Hiburan adalah sama, yaitu antara 0-10%.
“Kami khususnya adalah untuk memohon kepada MK membatalkan pasal 58 ayat 2 dari Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah. Pasal tersebut memang mengandung diskriminasi antara 5 jasa hiburan, kelab malam, diskotik, bar, karaoke, mandi uap/spa, dibanding sektor lain,” katanya dalam konferensi pers di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (7/2/2024).
Menurutnya dengan dicabutnya pasal tersebut maka tidak ada lagi diskriminasi penetapan besaran pajak dalam usaha jasa kesenian dan hiburan. Menurutnya penetapan pajak 40-75% dilakukan tanpa menggunakan prinsip-prinsip dasar yang seharusnya digunakan untuk mengambil Keputusan dalam membuat Undang-Undang.
“Pemerintah yang memiliki kewenangan penuh dalam memberikan dan mencabut perizinan berusaha, justru dalam menetapkan Pasal 58 Ayat (2) pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 menggunakan besaran pajak dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap perizinan berusaha,” sebutnya.
Hal ini, kata dia, menjadi tidak tepat keputusannya karena berdampak diskriminasi terhadap pelaku usaha yang sudah menjalankan usahanya sesuai peraturan dan perundangan yang berlaku. Ia menyebut dampak penetapan pajak yang tinggi akan berakhir pada penutupan usaha.
“Dampak penetapan pajak yang tinggi adalah usaha hiburan akan kehilangan konsumen dan berakhir pada penutupan usaha serta banyaknya pekerja di sektor hiburan yang akan kehilangan lapangan kerja,” tuturnya.
Di sisi lain, Indonesia yang saat ini sedang berjuang untuk melakukan recovery di sektor Pariwisata pasca Pandemi COVID-19, mendapat permasalahan baru dalam berkompetisi dan menciptakan daya saing pariwisata dengan negara lain. Ia menyebut beberapa negara justru menetapkan tarif pajak rendah, misalnya Thailand hingga Malaysia.
Dengan telah didaftarkannya Pengujian Materiil di MK, DPP GIPI akan segera mengeluarkan Surat Edaran untuk pengusaha hiburan, (diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa) yang pajak hiburan di daerahnya meningkat karena adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022, agar membayar pajaknya dengan menggunakan tarif lama.