Jakarta – Kehadiran Kereta Cepat Jakarta – Bandung atau Whoosh (Waktu Hemat, Operasi Optimal, Sistem Hebat) tuai pro dan kontra. Apalagi pada (29/01) ditetapkan akan dikeluarkan kebijakan tarif dinamis tepatnya mulai 3 Februari 2024. Harga akan lebih murah apabila penumpang naik di jam non sibuk, dan harga normal apabila di jam sibuk dan peak season.
“Dalam skema baru ini dimungkinkan dalam satu hari terdapat beberapa tarif yang berbeda untuk perjalanan Whoosh,” ujar Eva Chairunisa, General Manager Corporate Secretary KCIC. Tarif dinamis membuat harga tiket Whoosh menjadi jauh lebih terjangkau, dengan harga termurah yaitu Rp 150.000. Variasi harganya sebagai berikut, antara Rp 150.000, Rp 175.000, Rp 200.000, Rp 225.000, atau Rp 250.000.
Tak membahas panjang soal tarif dinamis ini, namun lebih ke melihat efek samping dari tarif dinamis ini. Jauh sebelum Whoosh hadir, KAI sudah memiliki rute Jakarta – Bandung menggunakan KA Parahyangan. Sebelum adanya Whoosh KA ini jadi favorit warga Jakarta atau Bandung untuk melakukan mobilisasi. Namun perlahan kehadirannya ‘menciut’ karena kehadiran Whoosh. Bagaimana tidak, waktu tempuh KA Parahyangan 4x lipat lebih lama dibanding Whoosh, dengan selisih harga hanya Rp 100.000. Tentu secara fasilitas, Whoosh juga jauh lebih modern dan baru. Mulai dari stasiunnya yang megah, interior yang modern, lebih baru dan menawarkan experience baru.
Jika diterapkannya harga dinamis termurah, harganya akan menjadi sama dengan KA Parahyangan, tentu bagi sebagian orang yang ingin cepat dan memperoleh pengalaman baru akan memilih Whoosh. Namun pecinta perjalanan panjang sambil menikmati pemandangan akan memilih KA Parahyangan. Penurunan penumpang KA Parahyangan ternyata nyata, padahal ini sebelum adanya harga dinamis. Maka bisa dibayangkan setelah 3 Februari pasti akan lebih sepi penumpang. Inilah yang menjadi perhatian, bukannya saling mendukung namun terkesan seperti kompetisi.
Walau tidak ada niatan membangun kompetisi, namun keduanya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Banyak yang menilai Whoosh untuk para komuter yang memang membutuhkan waktu cepat untuk bermobilisasi, seperti pekerja atau orang-orang yang ingin hemat waktu. Sehingga memang punya pasar yang berbeda, namun belum dapat dipastikan bagaimana kondisi setelah diberlakukannya tarif dinamis ini.
Tentu besar harapan, keduanya masih memiliki peminatnya masing-masing, sehingga tak ada transportasi umum yang dirugikan. Layaknya di Jepang, dimana ada KA Lokal dan kereta cepat ‘Shinkansen’ yang melayani rute yang sama, namun keduanya masih sama-sama imbang. Semoga bisa diterapkan di Indonesia dan akan ada inovasi-inovasi terkait untuk ke depannya.