Ari Junaedi*
“Pada akhirnya bukanlah kata yang menyakitkan musuh yang selalu diingat. Tetapi diamnya sahabat yang dahulu mendukung kita.” – Martin Luther King (1929 – 1968)
Dalam beberapa kali perjalanan saya ke berbagai daerah di Jawa Tengah, Jogyakarta dan Jawa Timur serta menemui masyarakat Jawa di berbagai kabupaten di Kalimantan Selatan, Bali serta Sumatera Utara baru-baru ini, saya menemukan kegelisahan yang sama.
Pemilih fanatik yang semula mendukung Joko Widodo di dua kali Pilpres 2014 dan 2019 kini menyatakan penyesalannya. Semula, mereka sedih karena Jokowi harus menuntaskan pemerintahannya di 2024.
Tidak ada dalam bayangan para pemuja Joko, jalan cerita “indah” yang seharusnya tuntas di penghujung masa jabatannya ternyata berakhir di luar “nurul”. Jokowi membiarkan proses hukum di Mahkamah Konstitusi – untuk meminjam istilah Jokowi bahwa Gibran telah mengikuti proses sesuai dengan mekanisme yang ada – menjadi catatan kelam di akhir pemerintahannya.
Munculnya Jokowi di panggung politik lokal dengan memenangkan pemilihan Walikota Solo di 2015 seakan menjadi penegas bahwa menjadi kepala daerah tanpa mahar uang yang harus disetor ternyata bisa terjadi dan menang.
Harapan akan lahirnya pemimpin kerakyatan langsung melekat pada sosok Jokowi. Saat itu, rakyat begitu terpesona dengan ketulusannya dengan memimpin Solo. Memerintah dengan memberi contoh, menggusur tanpa kekerasan, memimpin dengan hati serta bertindak tanpa mengundang kecaman. Tetapi itu tinggal kenangan belaka.
Menjadi Gubernur Jakarta adalah impian semua orang. Pensiunan bahkan perwira aktif di TNI/Polri, politisi, mantan dan pejabat bahkan pengusaha ingin menjadi orang nomor 1 di Jakarta. Jokowi seperti mendapat “wild card” melenggang tanpa keringat karena selalu disokong oleh partai supaya bisa maju dan terpilih. Dan Jokowi telah melupakan partai yang mengusungnya dari Solo hingga naik “kelas” ke pentas Jakarta.
Melihat kemesraan yang kini terjalin antara Jokowi dengan rival terberatnya di dua kali Pilpres, Prabowo Subianto seakan menyesakkan hati para pendukung garis kerasnya. Para pendukungnya begitu legawa ketika Prabowo ditarik ke kabinetnya Jokowi sebagai Menteri Pertahanan dengan alasan untuk rekonsiliasi.
Bagi Prabowo dan Gerindra, jabatan itu begitu membanggakan karena seperti diakui Mantan Danjen Kopassus di sebuah acara televisi menjadi oposisi selama 20 tahun begitu sulit mendapat kredit dari pihak perbankan. Usahanya banyak yang tidak berjalan.
Jokowi mungkin punya skenario tersembunyi atau hidden agenda dengan merangkul Prabowo dan sekarang rencana ini telah terlihat nyata dengan melihat perjodohan Prabowo dengan Gibran Rakabuming Raka – sang putra.
Tidak ada yang menyangka, Jokowi dan keluarga begitu bergerak massif menggapai posisi kelapa daerah sebagai “loncatan” menuju jabatan kepala daerah yang lenih tinggi. Putra sulungnya, Girban Rakabuming Raka disupport “habis-habisan” menjadi Walikota Solo.
Semula publik dan partai pengusungnya berharap ada tipikal kepemimpinan yang identik dan bisa berhasil di daerah. Mereka tidak menyangka jika Jokowi dan keluarga memiliki “sasaran” yang lebih tinggi : menggapai Istana. Sebuah proses pewarisan kekuasaan secara terencana melalui celah-celah hukum yang dimanfaatkan dengan baik.
Publik pun masih terngiang-ngiang dengan dialog keluarga Jokowi di sebuah acara televisi bahwa Gibran maupun Kaesang Pangarep emoh dan ogah berpolitik. Mereka lebih senang berbisnis dan tidak ingin menganggu citra ayahnya dan menolak disebut memanfaatkan posisi ayahnya.
Kenyataannya sekarang, justru mereka memperlihatkan praktek-praktek kekuasaan yang ditentang mahasiswa, rakyat dan pers saat perjuangan reformasi menuntut Soeharto mundur. Ambisi kekuasaan tanpa malu kini telah dipertontonkan oleh keluarga yang semula bergerak di bidang mebeler.
Tidak hanya putra-putra kandung presiden, bahkan menantu Jokowi pun bersiap menjadi Gubernur Sumatera Utara usai menjadi Walikota Medan. Idem dito sang menantu pun mengaku di sebuah acara televisi, sebagai menantu presiden popularitasnya cukup terkerek naik dan dirinya merasa terbantu untuk menjadi kepala daerah.
Kebanggaan Itu Menjadi Luruh
Semula kita begitu “buta” dan memuja tanpa cela akan kesahajaan diri dan keluarganya. Previlege sebagai anak dan menantu Presiden jelas begitu menggiurkan dan menggoda. Gibran sudah menjadi Cawapres sementara jabatannya sebagai Walikota Solo enggan dilepasnya.
Jika menantu bersiap menjadi Gubernur Sumatera Utara maka sang putra bungsu yang kini menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) juga bersiap menjadi Gubernur Jawa Tengah.
Sampai sekarang pun, publik begitu terpukau dengan masifnya pemasangan baliho Kaesang dan PSI serta wajah Jokowi tersebar di mana-mana dalam hitungan hari. Jika partai-partai besar saja masih “ngos-ngosan” memasang baliho di tempat-tempat strategis maka bukan urusan sulit jika baliho Kaesang dan PSI nongol di mana-mana. Belum lagi iklan Kaesang dan PSI di layar kaca.
Jika Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY merelakan pangkat mayornya di tentara selesai saat akan bertarung di Pilkada DKI dan perlu berbulan-bulan serta kompetisi politik yang ketat di forum Munas Demokrat untuk meraih kursi ketua umum, maka prestasi Kaesang menjadi Ketua Umum PSI sebuah prestasi sendiri. Perlu dua hari saja bagi Kaesang menjadi ketua umum sebuah partai.
Wajar jika kaum kritis di tanah air mencemaskan munculnya politik dinasti jika ambisi Keluarga Jokowi tidak pernah berhenti. Seperti sudah tidak percaya lagi dengan rekaman-rekaman video usang akan kepolosan keluarganya, boleh jadi kelak publik tidak akan kaget andai istri, anak perempuan, para menantu serta cucu-cucunya kelak akan “running” di semua posisi jabatan publik.
Para mahasiswa saya pun rasanya ingin bercita-cita menjadi anak dan menantu serta kerabat Presiden. Mereka berharap punya karir yang lebih baik, tidak seperti sekarang yang susah mencari kerja usai tamat dari perguruan tinggi sekali pun.
Saya hanya membayangkan apa bisa anak Amuntai di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan menjadi pengusaha yang permodalan perusahaannya disokong banyak pihak tanpa diminta ? Apa bisa pemuda di Kecamatan Tanjung Tiram di Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara disodori jabatan komisaris tanpa melihat kualitasnya ?
Nasib anak desa apalagi sosok yang bukan “siapa-siapa” hanya bisa berpasrah pada nasib. Boleh saja punya ide dan gagasan yang brilian tetapi jika berada di lingkar kekuasaan maka ide dan gagasan itu “dicatut” untuk keharuman nama seseorang.
Saya pernah sangat bangga diajak masuk dalam tim resmi pemenangan Jokowi tetapi kebanggaan itu saya sesalkan hingga kini.
Tinggalkan Warisan Yang Dikenang Baik
Benar apa yang dikatakan teolog Jesuit Anthony de Mello bahwa salah satu hal yang menyebabkan kehancuran suatu negara adalah politik tanpa prinsip. Ketika prinsip-prinsip luhur kekuasaan dipersembahkan untuk perbaikan nasib rakyat kini telah dimodifikasi sesuai kepentingan dan ambisi untuk berkuasa tanpa batas, maka prinsip-prinsip dalam politik adalah persetan belaka.
Begitu kepentingan ambisi berkuasa berkelindan dengan hasrat menguasai hajat hidup rakyat yang dikemas rapi dengan tagline “Indonesia Maju” serta dengan tawaran makan siang dan susu gratis maka sempurnalah kombinasi tersebut.
Saya khawatir jika kemenangan yang akan mereka capai begitu menghalalkan segala cara. Semua aturan dilabrak, aparat dikerahkan untuk membonsai lawan sementara sang presiden pun bertindak sebagai juru bicara salah satu pasangan calon yang menyalahkan pasangan lain.
Jangan salahkan rakyat jika sekarang mereka berani melawan sekalipun diam. Perlawanan budaya seperti pementasan kesenian yang menggugat rezim otoriter, mengusung keranda mayat presiden, membuat pocong anak presiden atau coret-coretan mural di dinding fasilitas umum, membuat meme politik serta memparodikan kejanggalan politik, begitu lumrah kini dilakukan oleh masyarakat.
Orang-orang Jawa mulai lantang bersuara, “Kulo geton Pak Jokowi mengapa sampeyan sekarang berubah. Saya menyesal Pak Jokowi telah berubah padahal kami telah membela Pak Jokowi selama ini”.
Narasi-narasi ini bukanlah kalimat yang mengandung ujaran kebencian tetapi sepantasnya dianggap sebagai ungkapan rasa sayang rakyat jelata yang selama ini berjuang memenangkan Jokowi sejak maju sebagai Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta hingga dua kali Pilpres.
Mereka tidak rela Jokowi menjadi orang lain, menjadi sosok penindas hak asasi manusia bahkan menjadi “penculik” cita-cita anak-anak miskin di seluruh penjuru tanah air yang bercita-cita semenjana : menjadi anak yang mandiri dan tidak menyusahkan orang tuanya.
Semoga kita semua – termasuk Jokowi dan keluarganya – mencerna pernyataan yang pernah diucapkan oleh sastrawan Pramudya Ananta Toer.
“Bila seseorang pernah membunuh demi kekuasaan maka semuan kejahatan lain adalah hal sepele baginya.”
*Ari Junaedi adalah akademisi, konsultan komunikasi dan kolomnis
Dikutip dari Kompas.com, Selasa, 9/01/2024